Mahadaya pasar..

Salah satu senior yang telah sukses di Amerika sana, hari ini menulis di jakarta post, mengenai keterkaitan kereligiusan suatu umat, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.


Saya rasa ini sangat terkait dengan kejelimetan perdebatan ekonom selama ini, apakah ada satu sistem ekonomi yang benar benar paling benar dan applicable buat seluruh bangsa dan negara. sayangnya sering kali penelitian ini terjebak dengan kemewahan ekonometrika, yang menyimpan keraguan kausalitas atau hanya korelasi semata


yang menarik adalah kesimpulan akhir yang ditarik penulis,


"On the other hand, we can also see that it is not one's religiosity that provides salvation. It is one's ethics, as well as the ability to adjust with institutional challenges, that changes one's fate".

menurut saya sistem ekonomi pasar bukanlah suatu hal yang tabu, bahkan menurut saya di dunia ini hanya ada dua titik ekstrim sistem ekonomi, yaitu ekonomi terkontrol (marxian) dan ekonomi berdasar mekanisme pasar. Sistem ekonomi yang dikembangkan oleh keynesian merupakan metamorfosis dari sistem ekonomi pasar yang banci (meminjam kata kata Mas Arianto Patunru,PhD) .


ekonomi islam, menurut kaum muslimin adalah yang paling tepat dan benar, sama halnya dengan kaum neo klasik memuja setiap kata dari capitalism and freedom-nya Friedman. atau pemuja general theory-nya keynes. Menilik dari sistem analisis yang melihat trend dari time series yang dilakukan oleh Robert Barro maupun Timur Kuran, agaknya ada indikator lain yang tak masuk ke dalam model. dimana tiap tiap sistem ekonomi yang sukses miliki maupun pernah ia miliki. Menariknya tiap tiap mahzab pernah mengalami masa keemasannya masing masing, dalam periode waktu yang tak dapat dipandang sebelah mata.

Islam misalnya pernah mencapai masa keemasan di masa khalifah Umar bin abdul aziz, hingga dari daerah khurasan hingga jazirah afrika kala itu tak ditemui satupun kaum dhuafa, hingga baitul maal pun penuh dengan kepeng zakat dan gandum (dikutip dari khutbah tarawih, Masjid Muhamadiyah Al-Falah Benhil,Ramadhan 1426 H)


Ethics, that's the key word for success, furthermore the thing that wholeheartedly believed by the majority of the people within the country.

Baik keynesian Libertarian, dan ekonomi islam hanyalah interpretasi sepihak dari tiap tiap kaum, yang saling berselisih dan beradu argumen kekurangan dan kelebihan masing masing. Diskusi yang (katanya) produktif ini berjalan hingga ratusan tahun, dan menjalar antar lintas generasi.

Menurut saya Ekonomi adalah ilmu murni yang jauh dari sentimen kedaerahan atau bahkan sedikit moralitas bawaan dari komunitas masing masing. Seperti halnya Fisika, Kimia, dan Matematika, tak seharusnya ada yang namanya Kimia islam, atau Fisika klasik, atau Austrian mathematics, atau gaya gravitasi Komunis. Ilmu ini berlaku universal, dan telah selesai diperdebatkan bahkan sebelum Manusia pertama, Kakek Buyut kita Adam landing di bumi.

Saya lebih senang menyebutnya taken for granted, atau mungkin sunatullah, simply hanya Supply and demand oriented, perbedaan harga relatif, insentif yang rasional, implicit cost dan lainnya.

Forum yang mengagungkan islam di kampus pernah mencetak leaflet yang menyatakan islam bukan ekonomi pasar tanpa bunga, atau ekonomi sosialis yang bertuhan (kira kira seperti itulah), hal ini mungkin yang saya sebut keberpihakan sepihak, keinginan untuk berbeda demi mengedepankan kebenaran yang dianut tiap kaum.

Akan tetapi dari beberapa buku ekonomi islam yang saya baca, dominasi supply and demand dalam ekonomi islam sangatlah kentara, demikian pula model model makroekonomi keynes selalu menjunjung tinggi agregat demand ini sangat penuh dengan interaksi pasar.

Lalu apa yang membedakan antara tiap tiap mahzab tersebut, hingga mereka begitu ngotonya dan masih mampu terus mendefinisikan dirinya masing masing sebagai mahzab yang terdiferensiasi secara jelas dari mahzab yang lain? dan yang paling substansial tiap tiapnya punya pengalaman keberhasilan secara empiris yang mengesankan.

Menurut Friedman, Suatu teori benar asalkan tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa teori itu gagal dan salah, karena menurutnya sebaik baik model adalah model yang tidak ideal tapi akurat memprediksi kenyataan. Kefanatikan nya pada hasil empirik ini yang sangat mengesankan. Melihat dari seluruh mahzab yang disebut diatas, masing masing pernah jaya dan pernah pula gagal tak berdaya, ini menunjukkan kita tak bisa mengambil kesimpulan apakah mahzab tersebut salah, atau benar, unconclucion

Jadi manakah yang benar???

Jawab yang bisa saya dapat adalah ada satu indikator yang mendorong, dan menjadi suluh dan menjadi pedoman tiap tiap individu untuk berperilaku. Kefanatikan tiap mahzab menuntut kekonsistenan penganutnya untuk melanggengkan eksistensinya yang eventually membentuk suatu pola sistemik dari pelaku ekonomi dalam jaman nya masing masing. hal ini terkait erat dengan seperti yang disebut oleh senior kita di atas, ethics. Moral sentiments (favourite word, when I was in the Economic system class).

Pertama,Adagium holistik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat, dianut secara fanatik, dan yang terpenting adalah secara sukarela (tak perlu coercion power) telah menghasilkan sistem ekonomi yang teratur dan stabil. Yang kedua adalah kemampuan adaptasi terhadap perubahan institusional, disini masyarakat dituntut untuk dinamis dan berubah, aktif partisipatif, masyarakat memiliki kemampuan dan potensi untuk terus mengembangkan dirinya, Menjadi yang terbaik dan menang.

Protestan Ethics, mendorong masyarakatnya untuk berbuat, dan bergerak sehingga berhasil di dunia, kepercayaanya terhadap nasib buruk di akhirat karena kelalaian di dunia, dimana surga dan neraka tergantung pada pencapaian nya di dunia menjadi suluh yang sangat efektif hingga setiap jiwa berusaha yang terbaik.

Masyarakat Yahudi, yang percaya mereka adalah yang terpilih sebagai "anak tuhan", sangat mumpuni dalam berdagang, Kebanyakan diantara mereka kini menjadi langganan headline di majalah "forbes".

Di zaman Rasulullah, Islam berkembang dengan pesatnya, mendorong manusia berperilaku holistik, kaya raya seperti Abdurahman bin Auf, Ustman bin Affan, tapi dermawan seperti Nabi Idris. Dalam perilaku dan mind set masyarakat seperti itu mana mungkin tersisa kaum dhuafa?. Tiap tiap orang kaya terobsesi dengan "penyakit" filantropis, setiap Kaum dhuafa akan berusaha untuk keluar dari kubangan kemiskinan, karena adanya hadist nabi yang menyatakan "Kemiskinan dekat dengan kekafiran", belum lagi sindiran halus seperti "tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah". Saya percaya tidak semua orang di jaman keemasan islam adalah orang kaya(sering kali yang paling fakir adalah pejabat tinggi setempat), tapi tak satupun merasa dirinya tak berpunya, dan mampu membayar zakat.

Sinisme terhadap Ajaran Adam Smith yang menyarankan ke mahadayaan pasar, juga sering kali menggeser berita ke-filantropisan bapak Ekonomi modern ini, ini menunjukkan keidentikan masing masing mahzab, dan betapa dekatnya konsep ekonomi adam smith dengan konsep ekonomi islam, perbedaan terbesar justru ada pada konsep general theory nya keynes, Suku bunga, yang sering kali menyerempet konsep usuary.

sayangnya cap neo liberal, neo kapitalis sering kali dianalogikan dengan pro barat, dan kebijakan strukturalis yang notabene sangat keynesian dianggap sebagai budaya timur yang lebih bermoral. Pasar sering dianggap sebagai monster cacat(tidak sempurna) yang bisa memangsa siapa saja, tanpa pandang bulu.

Konsep menarik dari Friedman, bahwa pasar adalah mekanisme paling adil dan paling demokratis, pada tiap gandum yang terjual di pasar, tidak pernah ada sentimen siapakah yang menumbuknya hingga bisa sampai dimakan, tidak perduli apakah dia muslim, Kristen, yahudi, Kaum pagan atau komunis sekalipun. Tidak ada pengaruhnya apakah ia saudara teroris, bekas tapol PKI, Muslim berjenggot, ataukah pendukung HAMAS. Hanya satu saja yang berpengaruh dan berlaku universal, harga relatif !!, Di kala masa paranoia sekarang ini siapa yang mampu menjadi demikian demokratis seperti Mekanisme Pasar??.

pasar mungkin saja bisa memangsa siapa saja, tapi tidak mungkin ia telantarkan jiwa dinamis dan produktif, hanya yang lamban dan terus menerus lemah (bukan saja lemah, tapi pasrah) saja yang menanggung resiko tergusur.

pasar adalah dimana pagar otonomi individu tak terlanggar, tapi ia juga memberi ruang bagi pemilik rumah untuk berbagi dengan tetangga sekitarnya. Satu saja, tak ada yang namanya pemaksaan.

Mengapa? karena sukarela saja yang akan bertahan, perbedaan harga relatif saja yang bisa membuat individu menetapkan pilihan secara rasional tanpa merasa menyesal. Jika saja harga relatif secara moneter mungkin dianggap tidak manusiawi, bagaimanakah dengan harga relatif yang memasukkan keinginan untuk berbuat baik, yang merupakan salah satu bagian dari utilitas manusia?

Terlepas dari berbagai nama seperti sistem Keynesian, Libertarian, maupun Ekonomi islam, sebenarnya inti penentu dari keberhasilan adalah sunatullah dalam supply and demand karena pasar berjalan dengan baik yang didukung oleh perilaku holistik secara sukarela para individu di dalamnya. Bukan nama sistem ekonomi yang berperan, tapi perilaku masyarakat yang inheren dalam pemberdayaan pasar. Keberhasilan yang pernah dicapai oleh Keynesian atau kaum klasik saya kira tidak terlepas dari keadaan seperti yang ditimbulkan oleh mahzab islam, dan Webber’s ethics

itulah jawaban yang bisa saya tarik.

Mahadaya pasar !!!!!

1 comments:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.

Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger | Blue Business Blogger