Bagaimana saya akan memilih
Hingar bingar pemilihan presiden rasa rasanya semakin nyaring akhir akhir ini, setidaknya di telinga saya yang tidak biasa dengan nyinyirnya para politikus yang berakrobat saling sikut dan saling injak, kadang lucu kadang pula membuat mual.
Ditambah lagi dengan era informasi yang semakin cepat isu isu bersliweran, tidak jelas hitam dan putihnya, tidak jelas pula siapa pengarangnya, sisi positif dari informasi yang begitu bebas,saya tidak kekurangan informasi untuk menilai lebih jernih, walau negatifnya, saya bisa merangkai ide yang salah, akhirnya menuju pada kemungkinan non-linearitas akibat yang berujung pada multiple equilibria. Saya beruntung punya banyak kawan yang berbeda beda info-nya, ada wartawan, ada dari LSM, jadi tidak pernah kekurangan gosip, walau gosip yang tidak jelas ini memang kadang membuat resah.
Ada gosip pemimpin sekarang hanya pencitra, padahal serigala berbulu domba, ada juga gosip para penantang itu orang suci, ada juga ide kalo sebagian dari incumbent itu benar sebagian lain nya setan, makanya pilih sebagian saja, ada lagi yang bilang penantang itu keduanya setan biang kerusuhan.
Seorang kawan kesal betul dengan salah satu kandidat, yang katanya hanya getol dengan pencitraan. Oleh karenanya menurutnya lebih baik memilih yang lain, saya melihat tidak hanya satu capres-cawapres, melainkan semua penguasa mencitrakan diri dengan harapan semu. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Di Indonesia satu mencitrakan sebagai ksatria non-KKN, yang satu mencitrakan sebagai ratu adil kaya yang membuat semua manusia kaya raya, yang satu lagi mencitrakan seperti nabi, pedagang yang beristri shalehah, kalo saya memang ingin menolak citra, maka saya harus menolak semuanya.
Orang sosialis menolak liberalisme dengan ketidak adilan, padahal tidak pernah ada jaminan seorang santo sosialis akan tetap adil dan lurus ketika berkuasa, sejarah mencatat kekuasaan tidak pernah membuat orang menjadi lebih bersih dan suci atau lebih adil. Sebagai pelajar ekonomi, saya juga percaya opportunity cost dari semua, begitu juga memilih penguasa
Dalam ilmu ekonomi kemampuan manusia untuk menebak perilaku orang lain sangat penting sehingga saya sebagai individu tidak kehilangan kesempatan untuk peningkatan utilitas saya. Oleh karenanya kemampuan untuk me-rule out non-credible threat juga menjadi sangat penting, sayang saya buta politik. Akhirnya saya hanya berani menilai dari tim ekonominya tapi dari sisi ini, penilaian saya menderita subjectivity bias, karena nomer satu jelas dicoret, nomer tiga juga tim sukses ekonominya sejak lama saya gak percaya.
itulah kenapa beberapa hari ini saya menikmati betul bacaan "complete guide for the prince of machiavelli for idiots" yang saya kumpulkan dari berbagai varian mengunduh dari om google. Sembari menikmati summer yang menyengat dan dua tumpuk "coni medi" gelato tiramisu dan pistacchio buatan juragan eskrim giolotti di sudut dekat pantheon roma.
tulisan machiavelli membuat saya memahami bagaimana politik dan penguasa bertindak dalam mempertahankan kekuasaan. Bahwa penguasa pada hakekatnya adalah penipu yang akan bergerak seefektif mungkin demi mencapai utilitas pribadinya. Peran social benevolant hanya target antara mencapai first best utility mereka yang tak mampu tercapai tanpa berkuasa. The prince dan Discorsi adalah karya fenomenal yang mengungkap perilaku penguasa dimana demokrasi masih muda, dan pemilihnya adalah anak anak yang senang ditipu dengan kata kata manis. Discorsi mengungkap peran para senator, yang seharusnya menjadi agen "check and balances", malah menjadi boneka dari utilitas golongan dan bukan utilitas semua.
dengan begini saya merasa bisa melihat lebih baik dan mampu me-rule out smua gosip gosip yang ada, karena semua gosip hanya pencitraaan yang sepihak, dan statis. Pencitraan pencitraan yang mengeksploitasi harapan plato dan aristoteles, bahwa welfare state rekaan mereka akan selalu terwujud, pencitraan bahwa akan ada penguasa yang suci seperti turun dari langit dan pembawa wahyu dan obat mujarab segala masalah.
Saya tidak anti pemerintahan, saya cuma memilih berhenti melihat citra, berhenti berharap bahwa politikus akan jadi orang suci suatu hari, saya memilih melihat outcomes, output akhir. Saya memilih untuk tidak ditendang kesana kemari layaknya bola, dengan isu isu norak atau ide malaikat, saya memilih demokrasi dan pasar, yang akan menendang mereka yang pernah benar ketika outputnya salah, dan membenarkan yang outputnya benar walaupun dulu berlaku sesat.
11:27 AM | Labels: igauan, non economics | 1 Comments
Sok Tahu
ada dua macam penyebab orang jadi sok tahu; satu, karena sudah teralu banyak belajar
kedua, karena tidak belajar. Yang satu belum tau semuanya, yang kedua gak tau apa apa.
keduanya salah, karena ilmu itu bukan titik, tapi garis.
Satu satunya kebenaran mutlak adalah pencarian.
12:31 AM | Labels: igauan | 0 Comments
Kemakan omongan sendiri, capek deh...
mari tertawa sebelum tertawa dilarang, mau ketawa?, baca ini
lah yang sedari awal bikin dikotomi dikotomi gak jelas bukannya sampeyan?
tertawalah dunia, tertawalah :)
2:19 AM | Labels: igauan | 0 Comments