Perubahan untuk hidup, atau hidup untuk berubah…

Curhat ini terdorong oleh diskusi selepas subuh dengan seorang kawan lama di kamar kos gue. Pokok perbincangan tak lepas dari lelucon tak lucu pemerintah yang menaikkan harga BBM. Perbincangan menghangat karena beliau ini adalah salah satu pemain di bidang energi yang bersikukuh akan surplus neraca perdagangan migas pemerintah yang “hanya” 8 triliun per tahun menurut BP migas (relatif tak berarti dibanding subsidi 3 T per bulan). Sayangnya percakapan melebar menjadi politis, dan tidak produktif ketika menyangkut pemerintah yang “dzalim” Kapitalis, konspirasi Yahudi-IMF-World Bank – Barat, Kealiman teman gue ini memang cukup mumpuni, sehingga tak aneh jika sistem ekonomi islam dikedepankan ( walau gue ragu dia cukup mengerti masalah ini). Kebingungan yang mengganjal ini semakin menjadi melihat banyak sekali cerita derita rakyat kecil di kompas karena kenaikan BBM.

Adam smith (the great philosopher kata Pak Edi),mendoktrin kita selama kuliah bahwa setiap individu apabila melakukan yang terbaik bagi dirinya sendiri, in the end akan membuat welfare meningkat bagi seluruh masyarakat. Invisible hand akan selalu Menendang semua pekerja yang terlalu lamban, dan memaksa orang produktif, Memaksa kapitalis membayar pekerja yang produktif lebih mahal daripada yang malas. Membunuh para monopolis ( yang membuat harga terlalu mahal). Membuat orang selalu bisa memaksimalkan utilitas yang ada. Kemampuan individu untuk terus memperbaiki diri demi utilitas tertinggi adalah basic dari pemikiran ini.

John Nash, Bilang bahwa setiap individu akan selalu bergerak secara dinamis untuk meningkatkan peluang dan kemampuan dirinya untuk selalu menang dalam “perekonomian lelang” (lagi lagi mengutip Pak edi) dengan melihat perilaku orang lain, dan melakukan penyesuaian yang terbaik untuk menjaga peluang untuk menang. Kedinamisan ini yang membuat nya selangkah lebih maju dari Adam smith.Bahwa orang tidak hanya bergerak sendiri, tapi demi meningkatkan welfare dirinya dia juga akan senantiasa melihat perkembangan orang lain, dan terus mengembangkan dirinya sendiri.

Keynes, melihat semua penyesuaian ini makan waktu jadi sudah sepantasnya pemerintah maju ke depan mengorbankan diri untuk menstabilkan perekonomian. Langkah mulia sebenarnya apabila hal ini tidak beresiko inflasi.

Sen, pemenang nobel dari India meluncurkan kebebasan sebagai esensi perekonomian, bukan saja perlu adanya choice dalam auction economy, tapi juga freedom to choose. Kesimpulan yang ia tarik karena ada tetangganya yang meninggal kelaparan di daerah yang notabene adalah lumbung padi di India.

Kalo kita renungi pikiran pikiran para sesepuh ekonom di atas,trus dibandingkan dengan komentar temen gue di paragraph pertama kayaknya ada sesuatu yang kurang klop. Ada missing link yang bikin Indonesia selalu tidak punya solusi, sepintar apa pun mentrinya.
Beberapa hari merenung, gue mikir kenapa, apa yang salah? Apakah yang kita lewatkan sih selama ini?

Gue mikir :

Apakah pencabutan subsidi salah?

Kebijakan yang dipandang tidak bijak ini berangkat dari permasalahan perumusan yang tidak sesuai sejak awal. Subsidi BBM adalah sesuatu yang tidak rasional, seharusnya minyak tidak jadi suluh utama perekonomian, bukan kah ini adalah energi tak terbarukan, yang pasti akan habis. Harga yang murah juga membuat orang dengan mudah menghamburkan, dan mematikan kesempatan energi alternative.

Belum lagi ibaratnya orang yang seharusnya bisa naek angkutan umum lebih memilih memakai mobil pribadi ( di gedung kantor gue dulu ada bos yang punya mobil mewah ampe 16 biji. Waaaks…). Akibatnya permintaan angkutan umum jadi berkurang, insentif supply angkutan menjadi menyusut, akibatnya dikontrol oleh sebagian konglomerat yang seenaknya saja memalak penumpang dengan harga mencekik. Dengan bekingan Organda yang tak berguna itu.

Lihat saja anak anak FE di depok yang bawa BMW yang borosnya minta ampun, bisa abis 50.000 sendiri ke depok, yang artinya kurang lebih 1,5 juta.per bulan makan BBM bersubsidi (gue yakin mereka mikir dua kali nanti kalo udah kerja sebagai lulusan FEUI dengan gaji standar, huh!!!!). Kontribusi apa mereka ke negara ini dengan makan 1,5 juta dana subsidi tiap bulan ? apa ruginya sih naek kereta?

Gue mikir ini gak salah dong, bukan masalah kita surplus minyak atau nggak, bukan masalah dzalim atau tidak, kapitalis atau tidak, kita mau perbaikin yang salah kok, Meluruskan kebijakan yang salah, mengembalikan APBN ke yang memerlukan.

Tapi gue mikir lagi, trus apa masalahnya selesai? Tidak, kompensasi Cuma remedies sementara, efek dari pembangunan infrastruktur juga efeknya masih lama, padahal pikiran ekonom klasik (cabut subsidi) dan Keynesian (cash-transfer) udah diakomodasi.

Apakah bener ilmu ekonomi telah mati?,Apa yang salah?

Apakah sistem ekonomi yang lebih religius akan secara drastic akan merubah negara kita jadi makmur?Apakah jaman kekhalifahan rasululullah SAW akan langsung berulang?

Kalau tidak, lalu kenapa pengalaman empiris negara barat yang sukses tidak jalan juga di tempat kita? Sistem apa yang benar?, Apakah ekonomi pancasila Sri edi swasono yang didengungkan?, Dari awal gue selalu mikir ini siapa yang salah pemerintah kah? Atau rent-seekingers? Atau masyarakatnya??

Kenapa –kalo melihat kasus temen gue di atas- dia dengan mudahnya menyalahkan pemerintah (walau tanpa pengetahuan yang cukup), IMF, world bank, dll. Kenapa kita selalu menyalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Semua orang pengin kaya, tapi gak semua bisa kaya bukan? Harus usaha !!!!!. Apakah dengan sistem yang lebih religius kita akan langsung berubah? Apakah dengan sistem yang pancasilais kita akan lebih baik??

Kenapa orang selalu menyalahkan orang lain atau sistem yang dikambing hitamkan?

Teori indah adam smith, dan Nash akan berlaku jika orang berlaku aktif, partisipatif, bergerak dan berusaha mencari yang terbaik, dan dinamis. Sen, walaupun setuju akan hal ini, tapi mengkritik bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan untuk melakukan hal tersebut, untuk berkompetisi di gelanggang yang sama.

Kembali ke artikel artikel di kompas, hari itu (16/10/05), topic yang diangkat adalah nelayan yang susah untuk melaut, sebelum BBM naik mereka harus keluarkan 100.000 per sekali melaut dengan hasil melaut 180.000 dibagi 2 dengan kernetnya, dengan frekuensi melaut 2 hari sekali. Yang berarti untung buat dibawa pulang hanya 10.000 perhari. Bahkan sebelum BBM naik pun penghasilannya sangat minim, Pengemis di Jakarta aja mungkin bisa dapet 50.000 per hari ( masa sih sehari semalem gak ada 50 orang yang kasih). Lalu kenapa masih dipertahankan pekerjaan sebagai nelayan? Mungkin ini salah satu lagi fenomena ketidak sempurnaan pasar, apakah memang tidak ada lagi peluang untuk mencari rezeki? Apakah memang sudah saking terisolasinya keadaan para nelayan ini???

permasalahan mobilitas sosial yang mandek memang menjadi masalah yang inheren dalam negara berkembang yang cenderung laten, dari sini lah segala permasalahan harus dilihat dan dihujjahkan. Dalam berbagai seri keluhan yang diceritakan secara gamblang dan empirik oleh ko mpas, permasalahan utama adalah ketergantungan yang tak terhindarkan pada fosil berumur ribuan tahun tersebut, seakan akan ke-inelastis-an BBM sudah mendekati garis lurus.

dikisahkan misalnya seorang pemilik katering yang mengeluhkan ketidakmampuannya menahan biaya yang merangkak naik, karena BBM naik, Seorang dayak juga dikisahkan semakin sulit mendapat minyak murah karena ongkos "taxi mahakam" tak lagi ramah di kantong.Belum lagi keluhan mahalnya makanan warteg buat mahasiswa.

Kesimpulan yang mampu kutarik dalam otak mungil ku tidak ada korelasi yang jelas antara kesulitan masyarakat dengan Naiknya BBM.-maksudnya apakah tidak menaikkan BBM akan menyelesaikan masalah yang dialami mereka-(tentu aku sadar sepenuhnya bahwa kenaikan bbm akan berakibat besar bagi kesejahteraan mereka), tapi menaikkan BBM setidaknya memberikan ruang gerak pemerintah untuk memberikan infrastruktur yang lebih baik bagi akumulasi pendidikan demi akses kesempatan yang lebih baik.

permasalahan ibu katering misalnya, pelatihan dan kesempatan untuk mempromosikan UKM yang dimilikinya akan lebih berarti bagi pengembangan usahanya, harga minyak yang tinggi di pedalaman dayak juga dikarenakan tidak adanya subtitusi yang murah bagi taxi taxi mahakam, pembangunan akses jalan raya ke pedalaman akan menjadi obat yang mujarab bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedalaman.

permasalahan nelayan dan petani adalah permasalahan yang laten dan menahun, argumentasi hal ini akan menghajar pendapatan nelayan karena membuat nelayan tak mampu lagi melaut, sebenarnya tak tepat pada inti masalah, permasalahan sebenarnya nelayan tersebut kekurangan sumber daya untuk memberdayakan diri dan, ini lah yang seharusnya ditanamkan.

Kenaikan BBM adalah Ketidaknyamanan yang benar, dan terus mensubsidi BBM adalah kebijakan termudah, jalan pintas yang nyaman tapi keliru..Naiknya biaya BBM bagi masyarakat bukan diatasi dengan memberikan mereka uang untuk membeli BBM (nota bene subsidi) tapi menyediakan pilihan bagi rakyat, untuk secara leluasa melakukan subtitusi sesuai dengan utilitas pribadinya. Energi alternatif adalah suatu keharusan, karena harga dari sesuatu ketergantungan adalah biaya yang mahal tapi adil, yang hanya akan hilang jika kita memang kita tak bergantung lagi padanya .

Bahwa momentum kenaikan BBM adalah momentum dimana kebijakan pemerintah diberdayakan sepenuhnya untuk kemashalahatan rakyat, bukan dalam bentuk subsidy setengah hati akan tetapi pemerintah bergerak sebagai stimulus rakyat untuk memberdayakan diri, dalam melakukan mobilitas sosial ekonomi baik secara horizontal maupun vertikal.

pemerintah tidak seharusnya berperan pengatur utama hajat hidup rakyat, rakyat sendirilah yang pantas menentukan utilitas dan preferensinya sendiri. pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator bahwa setiap individu bermain pada arena yang fair dan sportif. dan menjamin tiap tiap rakyat memiliki potensi untuk berlaku aktif dan dinamis

Warisan kolonialisme dan feodalisme di negara ini yang masih terasa adalah rakyat masih merasa nyaman segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh negara, (dulu oleh keraton atau kesultanan atau bahkan kaum imperialis) mitos bahwa negara, sebagai seorang bapak tak mungkin mencelakakan anak sendiri sudah lapuk dan usang. Sang bapak telah terlalu sering memerkosa anaknya, membunuh bahkan mencincang anak anaknya.

Friedman dalam free to choose menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak otonomi dalam mengatur hidupnya masing masing, seorang nelayan misalkan, apakah memilih tetap sebagai nelayan atau memutus mata rantai ke nelayanan dalam keturunannya dengan mendorong anak anaknya untuk sekolah, semua ini akan berjalan secara alami simply karena perbedaan harga relatif antara tetap bekerja sebagai nelayan dan ekspektasi pendapatan ke depan dan harga yang harus dibayar untuk membiayai sekolah dan produk akselereasi kemampuan dan keahlian lainnya.

Menurut ekonom neo klasik hal ini akan berjalan dengan baik simply dengan perbandingan harga relatif dengan tanpa pemerintah menganjurkan pendidikan 9 tahun, karena apabila pemerintah menetapkan atau mengatur dengan pemaksaan (sebagai negara yang maha tahu segala utilitas terbaik bagi tiap tiap warganya) maka kecenderungannya selalu ada ketidakberesan. Yang penting adalah kita mengutak atik harga relatifnya, rendahnya biaya untuk sekolah tentunya akan mendorong lebih banyak nelayan untuk memilih sekolah dibanding melaut.

Kesimpulan yang bisa ditarik tidak ada hubungan yang saklek antara variabel peningkatan BBM dengan penurunan kesejahteraan rakyat,keduanya adalah produk dari kesalahan masa lalu, yang satu dan lainnya telah mempercepat penuaan dan keterpurukan kedua variabel tersebut.




0 comments:

Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger | Blue Business Blogger