Welfare = cheap gasoline ? mind you Mr.Expert
the only thing they understand about welfare is that gasoline is cheap, end of story. Yeah right and why all the best welfare state in the world had their gasoline prices even higher than the international market? (which means taxing it instead of subsidizing in scandinavia!) You say they don't have oil reserves? nope, they had lot's of oil all over them, they just choose something better to do than oil subsidy, like perfect health service, technology and education support. And they are on the way of liberty as they learned lesson from their 70's mistakes.
6:01 AM | Labels: BBM | 0 Comments
Pupus sudah !
Sudah lah, mungkin saya harus ganti kewarga negaraan saja. kalau masih terus berulang ulang seperti ini kapan negara ini bisa berubah, 30 tahun dari sekarang kita akan masih saja diributkan dengan masalah subsidi BBM atau tidak.Politikus-politikus senayan dan istana adalah partner, bukan lawan. Suara rakyat memang mesti didengar, itu jelas, akan tetapi tidak smua suara itu logis dan benar, karena tidak semua orang mengerti apa sebab dan akibat dari kebijakan, tidak smua orang bisa lepas dari ke-subjektifan penilaiannya. Oleh karenanya pemerintah dan legislatif harusnya lebih arif dalam menyaring suara suara yang mereka dengar, bukan sebaliknya, mengucapkan apa yang ingin didengar, katakan lah yang benar walaupun pahit. Pejabat sudah semestinya melihat ke depan dan lebih luas dari apa yang menjadi persepsi rakyatnya, dan jika visi nya membuatnya beresiko tidak dipilih lagi oleh masyarakat, itu adalah resiko yang mesti diambil.
saya tergelitik sebenarnya berkomentar tentang politisi yang saya sebut di atas, "biar sekarang jalan rusak dulu, yang penting dapur ngebul" ini jelas satu kesalahan besar terucap dari orang yang menjadi representasi jutaan manusia dari sabang sampai merauke, ucapan seperti ini jika terucap dari warga biasa contoh si A, adalah suatu ungkapan yang jujur. Beda dengan pejabat publik, seorang politisi tidak bisa melihat dari sisi A saja, ada si B yang membutuhkan bahan pokok di pedalaman sana, yang tak kunjung menerima pasokan dari kota terdekat, karena jalan jalan rusak. Ada juga si C seorang petani yang tak bisa menyekolahkan anaknya karena selain sekolah tidak ada di daerahnya, sehingga biaya nya sangat tinggi, akibatnya anak petani itu pun kehilangan kesempatan menjadi seorang insinyur atau seorang dokter di kemudian hari. Tapi nyatanya politisi ini lebih senang bicara tentang A daripada B dan C, karena lebih dramatis, politis, dan kesan-nya bermoral dan anti pemerintah. Sekilas mungkin politisi ini berpihak pada A, tapi di jangka panjang dapur A bukan saja mungkin tak lagi bisa ngebul, anak anak A tidak bisa sekolah karena memang tidak ada lagi sekolah, pelayanan kesehatan juga semakin jarang karena semua pos strategis untuk infrastruktur dipangkas. Jadi, apakah politisi ini memihak A? jika kita melihat lebih jernih tentu kita akan berkata tidak. Collier dan Gunning (2005) mengkritisi keras perilaku seperti ini menyebutnya sebagai intertemporal syndrome, setiap pemerintahan pasti memiliki masalah trade off antara konsumsi masa kini dan masa datang, disebut syndrome apabila pemerintah memprioritaskan sedemikian rupa konsumsi masa kini, hingga level dimana konsumsi aktual masa depan akan menjadi lebih kecil dibanding mas kini. Suatu cacat logika menahun dari aktor aktor intelektual senayan kita.
Pemerintah yang korup bukan hanya mereka yang mengambil harta rakyat dimasa kini tapi juga yang mensita harta rakyat di masa depan, lebih lebih lagi potensi harta yang akan diambil adalah harta yang berpotensi diambil oleh orang yang kurang beruntung saat ini, demi kepentingan harta dari orang yang lebih beruntung. Masalah intertemporal ini yang tidak juga dimengerti oleh para economist wannabe mendadak ini. Seorang teman dalam sebuah diskusi bahkan menyatakan "tidak perlu seorang ekonom untuk mengurus negara jika harga BBM dinaikan terus", mungkin benar, tapi mungkin perlu seorang ekonom untuk mengingatkan bahwa negara ini mesti punya umur yang panjang, berkelanjutan dan berkembang.
Sayangnya mereka tidak juga mengerti, dan sayangnya mereka berjumlah sangat banyak, mungkin sebaiknya tidak usah diingatkan lagi, tinggal silahkan sekarang pilih apakah memang negara ini mau tetap jalan di tempat sampe kiamat nanti, atau menjadi cina cina baru, atau India india baru di generasi mendatang.
5:50 PM | Labels: BBM, kontemplasi | 5 Comments
Gugatan Kepantasan
Cross posting dari cerita seorang mualaf :
di awal keislaman, saya paling suka jika ramadhan tiba..
sejak mengalami boikot ekonomi dari ortu, sebagai konsekuensi keislaman itu, maka sedikit demi sedikit saya belajar harus membiayai diri sendiri. dari design stiker sampai jadi drafter tugas arsitektur. alhamdulillah, saya tidak pernah kekurangan.. walau juga tidak tahu, apakah sudah lebih atau malah kurang..
saya suka berpuasa… -jujur- bukan demi ketakwaan, karena memang kadang makanan saya tuk sehari ada atau seharinya lagi tidak ada.
maka saya suka bulan ramadhan tiba.
karena di bulan ramadhan setiap hari itu berpuasa.
sehingga saya tidak usah bingung mau makan apa hari ini.
dan berbuka menjadi sangat nikmat..
walau hanya sederhana.
dan saya suka sedih kalau ramadhan itu akan habis.. karena saya akan kebingungan, tuk berlebaran di mana, seperti apa, dsbnya. alhamdulillah, seorang karyawan di tempat saya menitipkan diri dan bekerja di sana, sering mengajak saya berlebaran bersamanya. namanya teh Dedah, seorang yang invalid, cacat kaki, berumah sangat sederhana di bilangan balubur..
melihatnya yang sudahkah sangat sederhana, maka saya suka tidak tega ikut merepotkan berlebaran di rumahnya. maka di suatu lebaran, saya berniat tuk sendiri saja, di tempat kerja itu.
berbekal beberapa rupiah, saya berniat lebaran mandiri..
tiba-tiba, di malam takbiran.. pintu rumah kerja itu diketuk. dari panitia idul fitri masjid sekitar sana. saya diminta membayar zakat fitrah, plus seandainya mau dengan infak dan sodaqohnya..
saya terdiam sesaat..
ada yang sesak, tapi entah apa..
maka kemudian dengan ringan saya pun mengambil berapa rupiah itu dan membayar apa yang menjadi kewajiban saya. karena sejujurnya, mengapa juga saya harus merasa sedih, bukankah dari pertama saya masuk islam, -ada uang atau tidak-, saya selalu membayar zakat fitrah berserta infak dan sodaqohnya?
meski kata qur’an, sebagai mualaf, saya berhak atas zakat..?
saya tidak akan bilang kalau saya ini adalah mualaf hanya tuk sekedar diberi uang zakat. mereka toh juga tidak bertanya. alhamdulillah, selama di awal kemualafan dulu, saya tidak pernah menerima uang zakat..
saya hanya inget, sejak kecil saya diajari ibu tuk tidak menjadi peminta-minta. beliau mengajari saya berbagi dan bukan tuk hanya menerima, apalagi meminta..
maka dengan sisa uang itu, saya membeli indomie. tuk sampai libur lebaran usai dan saya akan kembali memutar roda hidup saya..
di hari fitri itu, saya mengenakan baju baru hasil jahitan sendiri. tempat saya kerja adalah sebuah usaha baju muslimah. saya bisa mencicilnya nanti kalau hanya sekedar kain tuk baju yang baru. maka menghabiskan malam takbiran sendirian, dengan sibuk di depan mesin jahit adalah sebuah kenikmatan..
paginya langsung saya pakai baju itu dan berangkat sholat ied di lapangan sekitar masjid..
semua orang tampak suka cita..
saya hanya sendirian, tersenyum jika ada yang menyapa.. dan kembali sendirian..
sambil menatap langit, saya hanya ingin bilang..
ya Allah, temenin donggg..
gi pengen temen nihhh..
temenin yaaa..
maka setelah sholat ied, saya bersalam-salaman dengan semua ibu-ibu yang ada.
lalu pulang ke rumah, memasak indomie, dan menyantapnya dengan santai sambil menghabiskan bacaan saya.
saya sangat berterimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu di awal keislaman saya. semoga Allah membalas budi baik itu dengan kenikmatan yang terus menerus.. sebagaimana selalu saya kenang dan tidak pernah ingin hilang..
alhamdulillah, indomie di hari fitri..
saya bisa berislam dengan mandiri..
maka kemudian saya nih suka merasa geli kalau melihat orang sampai berbuih-buih mulutnya, membicarakan islam berikut ayat-ayatNya. pandai mengaji, tafsir dan ilmu fiqih.
apa mereka pikir itulah islam?
padahal islam tidak akan kita ketahui sampai kita melaksanakannya? hehahaha
indomie di hari fitri..
saya senang..
bisa berislam..
dengan mandiri..
dan saya buktikan..
saya bisa..
alhamdulillah..
makasih ya tuhan..
anis
Kita sering lupa siapa yang kita bela. Ketika mereka, yang kita bajak namanya berjuang berpuasa, apakah yang kita lakukan ?. Kita buang buang energi untuk bersumpah, dan menyalak melempar batu dan menumpahkan darah! kemudian dengan mudahnya me re-charge energi itu dengan makanan makanan legit dan nikmat, mengulanginya lagi dan lagi. Kita, yang menepuk dada membela orang miskin ini, apakah kita pantas untuk membela mereka?
3:31 AM | Labels: BBM, kontemplasi | 4 Comments
BBM, logistik, dan Politikus bebal

BLT sangat penting artinya bagi rakyat miskin untuk bertahan dari eksternal shock ini, sayangnya tingkat kesalahan penempatan yang tinggi (smeru estimates : 45% salah sasaran), dan tingkat korupsi yang tinggi sangat mengganggu proses ini, studi dari Olken(2005) menunjukan rent seeking behavior besarannya berbanding lurus dengan banyaknya tangan birokrasi, semakin menuju ke sasaran, semakin besar pula rent seeking tersebut, studi dari Gauthier(2007) juga menunjukan bantuan kesehatan sebagian besar tidak sampai ke sasaran, di uganda misalnya, 86% dana kesehatan di korupsi dalam bentuk rent seekers pada harga obat (nilai obat lebih besar dari nilai asli atau obat yang diberikan gratis diperjualbelikan), dan berkurangnya dana yang mengalir ke fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukan betapa sulit pendistribusian BLT tersebut tanpa sistem yang jelas. Sebagai institusi, kantor pos yang tersebar di seluruh indonesia, akan lebih baik dalam menyalurkan dana BLT, begitu pula dengan kantor PPK (penyalur dana kecamatan development project), akan jauh lebih baik lagi jika orang miskin memiliki rekening di kantor pos dan mengatur sendiri uang nya tersebut. Cek kosong berupa kupon terbukti tidak efektif karena kupon tersebut sendiri adalah quasi-money yang dapat diperdagangkan.
Masalah yang sama terjadi pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan inkind relatif tidak efektif dibanding dengan bantuan uang, kemungkinan pertama, barang yang datang tidak sesuai nilainya dengan nilai pembelian. Kedua, bantuan berupa barang (terutama kertas dan buku) beresiko tinggi diperdagangkan (seperti kupon dan kasus obat) oleh oknum sekolah. Seperti umumnya masalah principal-agent, masalah korupsi yang tinggi ini harus diperbaiki dengan sistem insentif dan supervisi yang tepat carrot and stick dalam artian payung hukum yang tegas sangat krusial dalam hal ini.
Jika memang PT gas negara, BULOG dan pertamina tidak mampu mempermudah akses terhadap gas, dan bahan pokok maka sudah selayaknya pertamina dan PGN dan BULOG dilikuidasi dan kita membuka lebar lebar terhadap perusahaan distribusi asing.


8:43 AM | Labels: BBM, economic development | 6 Comments
Perubahan untuk hidup, atau hidup untuk berubah…
Adam smith (the great philosopher kata Pak Edi),mendoktrin kita selama kuliah bahwa setiap individu apabila melakukan yang terbaik bagi dirinya sendiri, in the end akan membuat welfare meningkat bagi seluruh masyarakat. Invisible hand akan selalu Menendang semua pekerja yang terlalu lamban, dan memaksa orang produktif, Memaksa kapitalis membayar pekerja yang produktif lebih mahal daripada yang malas. Membunuh para monopolis ( yang membuat harga terlalu mahal). Membuat orang selalu bisa memaksimalkan utilitas yang ada. Kemampuan individu untuk terus memperbaiki diri demi utilitas tertinggi adalah basic dari pemikiran ini.
Sen, pemenang nobel dari
Apakah pencabutan subsidi salah?
Lihat saja anak anak FE di depok yang bawa BMW yang borosnya minta ampun, bisa abis 50.000 sendiri ke depok, yang artinya kurang lebih 1,5 juta.per bulan makan BBM bersubsidi (gue yakin mereka mikir dua kali nanti kalo udah kerja sebagai lulusan FEUI dengan gaji standar, huh!!!!). Kontribusi apa mereka ke negara ini dengan makan 1,5 juta dana subsidi tiap bulan ? apa ruginya sih naek kereta?
Apakah bener ilmu ekonomi telah mati?,Apa yang salah?
Kalau tidak, lalu kenapa pengalaman empiris negara barat yang sukses tidak jalan juga di tempat kita? Sistem apa yang benar?, Apakah ekonomi pancasila Sri edi swasono yang didengungkan?, Dari awal gue selalu mikir ini siapa yang salah pemerintah kah? Atau rent-seekingers? Atau masyarakatnya??
Kenapa –kalo melihat kasus temen gue di atas- dia dengan mudahnya menyalahkan pemerintah (walau tanpa pengetahuan yang cukup), IMF, world bank, dll. Kenapa kita selalu menyalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Semua orang pengin kaya, tapi gak semua bisa kaya bukan? Harus usaha !!!!!. Apakah dengan sistem yang lebih religius kita akan langsung berubah? Apakah dengan sistem yang pancasilais kita akan lebih baik??
permasalahan mobilitas sosial yang mandek memang menjadi masalah yang inheren dalam negara berkembang yang cenderung laten, dari sini lah segala permasalahan harus dilihat dan dihujjahkan. Dalam berbagai seri keluhan yang diceritakan secara gamblang dan empirik oleh ko mpas, permasalahan utama adalah ketergantungan yang tak terhindarkan pada fosil berumur ribuan tahun tersebut, seakan akan ke-inelastis-an BBM sudah mendekati garis lurus.
dikisahkan misalnya seorang pemilik katering yang mengeluhkan ketidakmampuannya menahan biaya yang merangkak naik, karena BBM naik, Seorang dayak juga dikisahkan semakin sulit mendapat minyak murah karena ongkos "taxi mahakam" tak lagi ramah di kantong.Belum lagi keluhan mahalnya makanan warteg buat mahasiswa.
11:34 PM | Labels: BBM, Market | 0 Comments