Showing posts with label BBM. Show all posts
Showing posts with label BBM. Show all posts

Welfare = cheap gasoline ? mind you Mr.Expert

This is what happen when you define people's welfare and optimal consumption by your own subjective thinking. oh yes, some expert (was) from the constitutional court prefer to say that welfare is cheap gasoline and no other else. Great just great!, now I know why they don't really know what they are talking about.

the only thing they understand about welfare is that gasoline is cheap, end of story. Yeah right and why all the best welfare state in the world had their gasoline prices even higher than the international market? (which means taxing it instead of subsidizing in scandinavia!) You say they don't have oil reserves? nope, they had lot's of oil all over them, they just choose something better to do than oil subsidy, like perfect health service, technology and education support. And they are on the way of liberty as they learned lesson from their 70's mistakes.

people should stop saying things they don't understand. that's pure logic.

Pupus sudah !

lagi lagi posting tentang BBM, bukan, bukan ide ide saya kenapa subsidi mesti dipangkas, kali ini tinggal kekecewaan saja. Pupus sudah harapan masa depan Indonesia ketika baca berita ini satu satu nya partai yang saya rasa masih bisa diharapkan untuk tidak ambil untung dari isu isu negatif ternyata bobol juga. Sepertinya mimpi mimpi tentang Indonesia seperti yang saya tulis disini dan disini hanya isapan jempol saya saja.

Sudah lah, mungkin saya harus ganti kewarga negaraan saja. kalau masih terus berulang ulang seperti ini kapan negara ini bisa berubah, 30 tahun dari sekarang kita akan masih saja diributkan dengan masalah subsidi BBM atau tidak.Politikus-politikus senayan dan istana adalah partner, bukan lawan. Suara rakyat memang mesti didengar, itu jelas, akan tetapi tidak smua suara itu logis dan benar, karena tidak semua orang mengerti apa sebab dan akibat dari kebijakan, tidak smua orang bisa lepas dari ke-subjektifan penilaiannya. Oleh karenanya pemerintah dan legislatif harusnya lebih arif dalam menyaring suara suara yang mereka dengar, bukan sebaliknya, mengucapkan apa yang ingin didengar, katakan lah yang benar walaupun pahit. Pejabat sudah semestinya melihat ke depan dan lebih luas dari apa yang menjadi persepsi rakyatnya, dan jika visi nya membuatnya beresiko tidak dipilih lagi oleh masyarakat, itu adalah resiko yang mesti diambil.

saya tergelitik sebenarnya berkomentar tentang politisi yang saya sebut di atas, "biar sekarang jalan rusak dulu, yang penting dapur ngebul" ini jelas satu kesalahan besar terucap dari orang yang menjadi representasi jutaan manusia dari sabang sampai merauke, ucapan seperti ini jika terucap dari warga biasa contoh si A, adalah suatu ungkapan yang jujur. Beda dengan pejabat publik, seorang politisi tidak bisa melihat dari sisi A saja, ada si B yang membutuhkan bahan pokok di pedalaman sana, yang tak kunjung menerima pasokan dari kota terdekat, karena jalan jalan rusak. Ada juga si C seorang petani yang tak bisa menyekolahkan anaknya karena selain sekolah tidak ada di daerahnya, sehingga biaya nya sangat tinggi, akibatnya anak petani itu pun kehilangan kesempatan menjadi seorang insinyur atau seorang dokter di kemudian hari. Tapi nyatanya politisi ini lebih senang bicara tentang A daripada B dan C, karena lebih dramatis, politis, dan kesan-nya bermoral dan anti pemerintah. Sekilas mungkin politisi ini berpihak pada A, tapi di jangka panjang dapur A bukan saja mungkin tak lagi bisa ngebul, anak anak A tidak bisa sekolah karena memang tidak ada lagi sekolah, pelayanan kesehatan juga semakin jarang karena semua pos strategis untuk infrastruktur dipangkas. Jadi, apakah politisi ini memihak A? jika kita melihat lebih jernih tentu kita akan berkata tidak. Collier dan Gunning (2005) mengkritisi keras perilaku seperti ini menyebutnya sebagai intertemporal syndrome, setiap pemerintahan pasti memiliki masalah trade off antara konsumsi masa kini dan masa datang, disebut syndrome apabila pemerintah memprioritaskan sedemikian rupa konsumsi masa kini, hingga level dimana konsumsi aktual masa depan akan menjadi lebih kecil dibanding mas kini. Suatu cacat logika menahun dari aktor aktor intelektual senayan kita.

Pemerintah yang korup bukan hanya mereka yang mengambil harta rakyat dimasa kini tapi juga yang mensita harta rakyat di masa depan, lebih lebih lagi potensi harta yang akan diambil adalah harta yang berpotensi diambil oleh orang yang kurang beruntung saat ini, demi kepentingan harta dari orang yang lebih beruntung. Masalah intertemporal ini yang tidak juga dimengerti oleh para economist wannabe mendadak ini. Seorang teman dalam sebuah diskusi bahkan menyatakan "tidak perlu seorang ekonom untuk mengurus negara jika harga BBM dinaikan terus", mungkin benar, tapi mungkin perlu seorang ekonom untuk mengingatkan bahwa negara ini mesti punya umur yang panjang, berkelanjutan dan berkembang.

Sayangnya mereka tidak juga mengerti, dan sayangnya mereka berjumlah sangat banyak, mungkin sebaiknya tidak usah diingatkan lagi, tinggal silahkan sekarang pilih apakah memang negara ini mau tetap jalan di tempat sampe kiamat nanti, atau menjadi cina cina baru, atau India india baru di generasi mendatang.


Gugatan Kepantasan

Cross posting dari cerita seorang mualaf :

di awal keislaman, saya paling suka jika ramadhan tiba..

sejak mengalami boikot ekonomi dari ortu, sebagai konsekuensi keislaman itu, maka sedikit demi sedikit saya belajar harus membiayai diri sendiri. dari design stiker sampai jadi drafter tugas arsitektur. alhamdulillah, saya tidak pernah kekurangan.. walau juga tidak tahu, apakah sudah lebih atau malah kurang.. :)
saya suka berpuasa… -jujur- bukan demi ketakwaan, karena memang kadang makanan saya tuk sehari ada atau seharinya lagi tidak ada.

maka saya suka bulan ramadhan tiba.
karena di bulan ramadhan setiap hari itu berpuasa.
sehingga saya tidak usah bingung mau makan apa hari ini.
dan berbuka menjadi sangat nikmat..
walau hanya sederhana.

dan saya suka sedih kalau ramadhan itu akan habis.. karena saya akan kebingungan, tuk berlebaran di mana, seperti apa, dsbnya. alhamdulillah, seorang karyawan di tempat saya menitipkan diri dan bekerja di sana, sering mengajak saya berlebaran bersamanya. namanya teh Dedah, seorang yang invalid, cacat kaki, berumah sangat sederhana di bilangan balubur..
melihatnya yang sudahkah sangat sederhana, maka saya suka tidak tega ikut merepotkan berlebaran di rumahnya. maka di suatu lebaran, saya berniat tuk sendiri saja, di tempat kerja itu.

berbekal beberapa rupiah, saya berniat lebaran mandiri..
tiba-tiba, di malam takbiran.. pintu rumah kerja itu diketuk. dari panitia idul fitri masjid sekitar sana. saya diminta membayar zakat fitrah, plus seandainya mau dengan infak dan sodaqohnya..
saya terdiam sesaat..
ada yang sesak, tapi entah apa..

maka kemudian dengan ringan saya pun mengambil berapa rupiah itu dan membayar apa yang menjadi kewajiban saya. karena sejujurnya, mengapa juga saya harus merasa sedih, bukankah dari pertama saya masuk islam, -ada uang atau tidak-, saya selalu membayar zakat fitrah berserta infak dan sodaqohnya?

meski kata qur’an, sebagai mualaf, saya berhak atas zakat..?
saya tidak akan bilang kalau saya ini adalah mualaf hanya tuk sekedar diberi uang zakat. mereka toh juga tidak bertanya. alhamdulillah, selama di awal kemualafan dulu, saya tidak pernah menerima uang zakat..

saya hanya inget, sejak kecil saya diajari ibu tuk tidak menjadi peminta-minta. beliau mengajari saya berbagi dan bukan tuk hanya menerima, apalagi meminta..
maka dengan sisa uang itu, saya membeli indomie. tuk sampai libur lebaran usai dan saya akan kembali memutar roda hidup saya..

di hari fitri itu, saya mengenakan baju baru hasil jahitan sendiri. tempat saya kerja adalah sebuah usaha baju muslimah. saya bisa mencicilnya nanti kalau hanya sekedar kain tuk baju yang baru. maka menghabiskan malam takbiran sendirian, dengan sibuk di depan mesin jahit adalah sebuah kenikmatan..
paginya langsung saya pakai baju itu dan berangkat sholat ied di lapangan sekitar masjid..

semua orang tampak suka cita..
saya hanya sendirian, tersenyum jika ada yang menyapa.. dan kembali sendirian..
sambil menatap langit, saya hanya ingin bilang..
ya Allah, temenin donggg..
gi pengen temen nihhh..
temenin yaaa..

maka setelah sholat ied, saya bersalam-salaman dengan semua ibu-ibu yang ada.
lalu pulang ke rumah, memasak indomie, dan menyantapnya dengan santai sambil menghabiskan bacaan saya.

saya sangat berterimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu di awal keislaman saya. semoga Allah membalas budi baik itu dengan kenikmatan yang terus menerus.. sebagaimana selalu saya kenang dan tidak pernah ingin hilang..

alhamdulillah, indomie di hari fitri..
saya bisa berislam dengan mandiri..

maka kemudian saya nih suka merasa geli kalau melihat orang sampai berbuih-buih mulutnya, membicarakan islam berikut ayat-ayatNya. pandai mengaji, tafsir dan ilmu fiqih.
apa mereka pikir itulah islam?
padahal islam tidak akan kita ketahui sampai kita melaksanakannya? hehahaha :)

indomie di hari fitri..
saya senang..
bisa berislam..
dengan mandiri..
dan saya buktikan..
saya bisa..
alhamdulillah..
makasih ya tuhan..

anis

Dalam hati saya bertanya tanya hebat, kami, yang selalu komentar tentang BBM, entah yang pro atau yang kontra, Kami, yang menepuk dada kami pembela rakyat kecil dan orang miskin adakah terbersit di hati nya berperilaku seperti mbak anis ini. Lihat disana, para kaum urban yang masih bisa bersuara, masih mampu dan punya kocek untuk berdemo, berkata " kami lah rakyat itu, kami menderita, ganti lah presiden bebal itu", Atau mereka yang di senayan, yang tersenyum simpul, tertawa riang, mengumpulkan amunisi untuk 2009.

Kita sering lupa siapa yang kita bela. Ketika mereka, yang kita bajak namanya berjuang berpuasa, apakah yang kita lakukan ?. Kita buang buang energi untuk bersumpah, dan menyalak melempar batu dan menumpahkan darah! kemudian dengan mudahnya me re-charge energi itu dengan makanan makanan legit dan nikmat, mengulanginya lagi dan lagi. Kita, yang menepuk dada membela orang miskin ini, apakah kita pantas untuk membela mereka?

BBM, logistik, dan Politikus bebal

Lagi lagi minyak, bosan sebenarnya mengomentari kelakuan anak negeri atau politikus, diulang ulang itu saja komentar mereka, tidak ada solusi, cuma syahwat berkuasa saja. Apakah mereka tidak juga mengerti bahwa BBM naik itu suatu keniscayaan, maka sudah selayaknya subsidi dikurangi bahkan dicabut secara gradual, mengutip petuah genghis khan "only fools who fought in a battle which is impossible to be won". Bayangkan di 2009 diperkirakan harga minyak mentah akan mencapai 200 dollar per barrel, dengan asumsi harga dibawah 100 euro per barrel dalam APBN berapa dana subsidi yang mesti dikeluarkan, atau berapa uang yang bisa dihemat jika harga minyak dinaikan? sangat besar sekali dana APBN yang bisa di re-lokasikan.

Inflasi yang meningkat itu jelas, akan mengurangi daya beli masyarakat, anak SD juga mengerti, tak perlu lah Mahasiswa dan politikus mengulang ulang lagu sumbang tersebut, perlu diingat inflasi sedang melanda dunia, bukan hanya Indonesia, baru kali ini saya mengalami di Perancis harga harga bahan pokok (terutama beras) naik sekitar 10 persen setiap minggu, bisa dibayangkan, perancis yang tingkat inflasinya telah relatif tinggi dibanding negara uni eropa lain (berkisar 1.8-2.2 persen) kini diperkirakan akan mengalami tingkat inflasi yoy hingga 4 persen, jauh memang dibawah Indonesia, tetapi lonjakan 100 persen dari perkiraan menunjukan lonjakan harga yang luar biasa dan persisten.

yang terpenting adalah membuat sistem yang bisa menjadi "buffer" dari eksternal shock ini, , Komentar bahwa rakyat miskin yang akan terkena efek negatif dari Minyak menurut saya hanya justifikasi moral dan alasan "heboh" yang politis, karena sebenarnya efek negatif inflasi akan lebih terasa oleh kaum urban dan menengah ke bawah yang steril dari BLT karena mereka adalah masyarakat non miskin, tapi vulnerable, angka perkiraan orang miskin adalah sekitar 7-8 persen total penduduk Indonesia (upah dibawah $1 per hari), sedangkan untuk level vulnerable sekitar setengah dari penduduk (49%).

BLT sangat penting artinya bagi rakyat miskin untuk bertahan dari eksternal shock ini, sayangnya tingkat kesalahan penempatan yang tinggi (smeru estimates : 45% salah sasaran), dan tingkat korupsi yang tinggi sangat mengganggu proses ini, studi dari Olken(2005) menunjukan rent seeking behavior besarannya berbanding lurus dengan banyaknya tangan birokrasi, semakin menuju ke sasaran, semakin besar pula rent seeking tersebut, studi dari Gauthier(2007) juga menunjukan bantuan kesehatan sebagian besar tidak sampai ke sasaran, di uganda misalnya, 86% dana kesehatan di korupsi dalam bentuk rent seekers pada harga obat (nilai obat lebih besar dari nilai asli atau obat yang diberikan gratis diperjualbelikan), dan berkurangnya dana yang mengalir ke fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukan betapa sulit pendistribusian BLT tersebut tanpa sistem yang jelas. Sebagai institusi, kantor pos yang tersebar di seluruh indonesia, akan lebih baik dalam menyalurkan dana BLT, begitu pula dengan kantor PPK (penyalur dana kecamatan development project), akan jauh lebih baik lagi jika orang miskin memiliki rekening di kantor pos dan mengatur sendiri uang nya tersebut. Cek kosong berupa kupon terbukti tidak efektif karena kupon tersebut sendiri adalah quasi-money yang dapat diperdagangkan.

Masalah yang sama terjadi pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan inkind relatif tidak efektif dibanding dengan bantuan uang, kemungkinan pertama, barang yang datang tidak sesuai nilainya dengan nilai pembelian. Kedua, bantuan berupa barang (terutama kertas dan buku) beresiko tinggi diperdagangkan (seperti kupon dan kasus obat) oleh oknum sekolah. Seperti umumnya masalah principal-agent, masalah korupsi yang tinggi ini harus diperbaiki dengan sistem insentif dan supervisi yang tepat carrot and stick dalam artian payung hukum yang tegas sangat krusial dalam hal ini.

Bantuan Langsung Tunai memang sangat penting tapi tidak cukup, karena BLT berusaha untuk meminimalisir efek eksternalitas negatif dari kenaikan BBM terutama bagi orang miskin, tapi tidak signifikan bagi masyarakat yang termasuk kriteria vulnerable, eksternal shock sangat besar efeknya bagi bagian masyarakat yang vulnerable dan tidak memiliki pendidikan yang tinggi (smeru, 2001), ini menunjukan quintile terbawah dari vulnerable people adalah yang paling besar terkena efek kenaikan BBM. Cara paling baik yang bisa dilakukan adalah berupaya menjaga kestabilan bahan pokok lainnya selain minyak , disini fungsi optimal logistik sangat dinantikan, fungsi logistik bulog dan pertamina selama ini menjadi keraguan besar, karena ketidak mampuan menyediakan pasokan yang berkesinambungan terutama bagi barang subsitusi dari minyak seperti gas. Adalah suatu aib besar ketika BUMN sebesar pertamina tidak dapat mengatasi kelangkaan gas, menurut saya ini dikarenakan ada monopoli terselubung pada rentang agen (belum lagi pertamina sendiri yang juga praktisi monopoli,tapisudahlah), pertamina seharusnya menyediakan pesaing bagi para agen tersebut, katakan lah pusat distribusi gas di tiap unit POM bensin, sama seperti halnya dengan pendistribusian kupon BLT di tahun 2005 rent-seeking dari intermediaries agent berasal dari informasi yang asimetris, dalam hal ini pusat distribusi gas. Akses mudah, murah dan pasti dari gas dapat meredam efek negatif dari kenaikan BBM bagi kalangan vulnerable dan mempermudah proses mutasi minyak ke gas. Begitu pula dengan BULOG, BULOG mesti mengerti bahwa perilaku petani juga memiliki pengaruh penting dalam penyerapan gabah kering, faktor resiko jatuhnya harga gabah di pasaran pada saat panen membuat petani berlomba menjual gabah basahnya, yang berujung pada self fulfiling behavior, karena harga terdorong ke bawah, resiko yang besar dari fluktuasi harga dan seringkali juga ketidak pastian musim ini juga membuat pemilik lahan bersedia berbagi resiko dengan rentenir/tengkulak dengan menjualnya dalam versi basah ke tengkulak (versi lain dari share-cropping) walaupun dengan keuntungan yang lebih rendah (suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh BULOG, terkait dengan lag pembayaran dan birokrasi), dari sisi pendistribusian juga masih perlu banyak yang dibenahi, pendistribusian beras (setidaknya yang terlihat di media) , dari kapal ke gudang-gudang seperti layaknyanya pergudangan di Indonesia, masih sangat primitif, dengan menggunakan manpower. Jika saja dana non budgeter dulu dipergunakan untuk dana perbaikan standard operation procedure dan barang modal, niscaya pendistribusian bahan pokok akan jauh lebih baik. Saya yakin banyak ahli logistik di Indonesia, dan seandainya BULOG, pertamina dan PGN bersedia membuka diri dan terus memperbaiki diri, masalah logistik akan mudah teratasi.

Jika memang PT gas negara, BULOG dan pertamina tidak mampu mempermudah akses terhadap gas, dan bahan pokok maka sudah selayaknya pertamina dan PGN dan BULOG dilikuidasi dan kita membuka lebar lebar terhadap perusahaan distribusi asing.

kenaikan harga minyak sudah jadi barang basi, dan tidak selayaknya jadi ajang politisasi sesaat,sudah saatnya kita menerima kenyataan bahwa minyak fosil sedang menuju kepunahan, alangkah lebih baik apabila kita pergunakan dana berlebih untuk memperbaiki akses terhadap peluang daripada untuk menambal lobang yang kian hari kian lebar. Tidak banyak orang tahu bahwa banyak potensi tersembunyi di negeri kita, batang padi sekarang bisa diolah menjadi bahan chip komputer, minyak jelantah bisa dibuat menjadi bio-diesel, para peneliti bisa membuat radar dengan menggunakan batterai kecil karena listrik yang digunakan hanya berkisar 1-5 watt, perkembangan sollar cells di LIPI dan BPPT juga semakin gencar, menuju pemberdayaan listrik murah dan banyak lagi, para politikus dan mahasiskus (mahasiswa yang gemar sirkus politikus) sebaiknya sadar bahwa dana yang dibakar sia sia di jalan raya adalah opportunity cost bagi produksi masal barang barang masa depan, begitu banyak hasil penemuan yang hingga kini berdebu dan dipajang di loker loker BPPT tanpa produksi masal. Perlu diingat, pengurangan subsidi dalam periode dua tahun saja (2005, 2006) bisa menghasilkan penghematan besar untuk mengirim 2500 peneliti untuk belajar keluar negeri hingga 2009, apabila jika kita bersedia berhemat, mengurangi konsumsi BBM sekarang, Indonesia akan lebih baik bagi keturunan kita kelak. Semoga.




Perubahan untuk hidup, atau hidup untuk berubah…

Curhat ini terdorong oleh diskusi selepas subuh dengan seorang kawan lama di kamar kos gue. Pokok perbincangan tak lepas dari lelucon tak lucu pemerintah yang menaikkan harga BBM. Perbincangan menghangat karena beliau ini adalah salah satu pemain di bidang energi yang bersikukuh akan surplus neraca perdagangan migas pemerintah yang “hanya” 8 triliun per tahun menurut BP migas (relatif tak berarti dibanding subsidi 3 T per bulan). Sayangnya percakapan melebar menjadi politis, dan tidak produktif ketika menyangkut pemerintah yang “dzalim” Kapitalis, konspirasi Yahudi-IMF-World Bank – Barat, Kealiman teman gue ini memang cukup mumpuni, sehingga tak aneh jika sistem ekonomi islam dikedepankan ( walau gue ragu dia cukup mengerti masalah ini). Kebingungan yang mengganjal ini semakin menjadi melihat banyak sekali cerita derita rakyat kecil di kompas karena kenaikan BBM.

Adam smith (the great philosopher kata Pak Edi),mendoktrin kita selama kuliah bahwa setiap individu apabila melakukan yang terbaik bagi dirinya sendiri, in the end akan membuat welfare meningkat bagi seluruh masyarakat. Invisible hand akan selalu Menendang semua pekerja yang terlalu lamban, dan memaksa orang produktif, Memaksa kapitalis membayar pekerja yang produktif lebih mahal daripada yang malas. Membunuh para monopolis ( yang membuat harga terlalu mahal). Membuat orang selalu bisa memaksimalkan utilitas yang ada. Kemampuan individu untuk terus memperbaiki diri demi utilitas tertinggi adalah basic dari pemikiran ini.

John Nash, Bilang bahwa setiap individu akan selalu bergerak secara dinamis untuk meningkatkan peluang dan kemampuan dirinya untuk selalu menang dalam “perekonomian lelang” (lagi lagi mengutip Pak edi) dengan melihat perilaku orang lain, dan melakukan penyesuaian yang terbaik untuk menjaga peluang untuk menang. Kedinamisan ini yang membuat nya selangkah lebih maju dari Adam smith.Bahwa orang tidak hanya bergerak sendiri, tapi demi meningkatkan welfare dirinya dia juga akan senantiasa melihat perkembangan orang lain, dan terus mengembangkan dirinya sendiri.

Keynes, melihat semua penyesuaian ini makan waktu jadi sudah sepantasnya pemerintah maju ke depan mengorbankan diri untuk menstabilkan perekonomian. Langkah mulia sebenarnya apabila hal ini tidak beresiko inflasi.

Sen, pemenang nobel dari India meluncurkan kebebasan sebagai esensi perekonomian, bukan saja perlu adanya choice dalam auction economy, tapi juga freedom to choose. Kesimpulan yang ia tarik karena ada tetangganya yang meninggal kelaparan di daerah yang notabene adalah lumbung padi di India.

Kalo kita renungi pikiran pikiran para sesepuh ekonom di atas,trus dibandingkan dengan komentar temen gue di paragraph pertama kayaknya ada sesuatu yang kurang klop. Ada missing link yang bikin Indonesia selalu tidak punya solusi, sepintar apa pun mentrinya.
Beberapa hari merenung, gue mikir kenapa, apa yang salah? Apakah yang kita lewatkan sih selama ini?

Gue mikir :

Apakah pencabutan subsidi salah?

Kebijakan yang dipandang tidak bijak ini berangkat dari permasalahan perumusan yang tidak sesuai sejak awal. Subsidi BBM adalah sesuatu yang tidak rasional, seharusnya minyak tidak jadi suluh utama perekonomian, bukan kah ini adalah energi tak terbarukan, yang pasti akan habis. Harga yang murah juga membuat orang dengan mudah menghamburkan, dan mematikan kesempatan energi alternative.

Belum lagi ibaratnya orang yang seharusnya bisa naek angkutan umum lebih memilih memakai mobil pribadi ( di gedung kantor gue dulu ada bos yang punya mobil mewah ampe 16 biji. Waaaks…). Akibatnya permintaan angkutan umum jadi berkurang, insentif supply angkutan menjadi menyusut, akibatnya dikontrol oleh sebagian konglomerat yang seenaknya saja memalak penumpang dengan harga mencekik. Dengan bekingan Organda yang tak berguna itu.

Lihat saja anak anak FE di depok yang bawa BMW yang borosnya minta ampun, bisa abis 50.000 sendiri ke depok, yang artinya kurang lebih 1,5 juta.per bulan makan BBM bersubsidi (gue yakin mereka mikir dua kali nanti kalo udah kerja sebagai lulusan FEUI dengan gaji standar, huh!!!!). Kontribusi apa mereka ke negara ini dengan makan 1,5 juta dana subsidi tiap bulan ? apa ruginya sih naek kereta?

Gue mikir ini gak salah dong, bukan masalah kita surplus minyak atau nggak, bukan masalah dzalim atau tidak, kapitalis atau tidak, kita mau perbaikin yang salah kok, Meluruskan kebijakan yang salah, mengembalikan APBN ke yang memerlukan.

Tapi gue mikir lagi, trus apa masalahnya selesai? Tidak, kompensasi Cuma remedies sementara, efek dari pembangunan infrastruktur juga efeknya masih lama, padahal pikiran ekonom klasik (cabut subsidi) dan Keynesian (cash-transfer) udah diakomodasi.

Apakah bener ilmu ekonomi telah mati?,Apa yang salah?

Apakah sistem ekonomi yang lebih religius akan secara drastic akan merubah negara kita jadi makmur?Apakah jaman kekhalifahan rasululullah SAW akan langsung berulang?

Kalau tidak, lalu kenapa pengalaman empiris negara barat yang sukses tidak jalan juga di tempat kita? Sistem apa yang benar?, Apakah ekonomi pancasila Sri edi swasono yang didengungkan?, Dari awal gue selalu mikir ini siapa yang salah pemerintah kah? Atau rent-seekingers? Atau masyarakatnya??

Kenapa –kalo melihat kasus temen gue di atas- dia dengan mudahnya menyalahkan pemerintah (walau tanpa pengetahuan yang cukup), IMF, world bank, dll. Kenapa kita selalu menyalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Semua orang pengin kaya, tapi gak semua bisa kaya bukan? Harus usaha !!!!!. Apakah dengan sistem yang lebih religius kita akan langsung berubah? Apakah dengan sistem yang pancasilais kita akan lebih baik??

Kenapa orang selalu menyalahkan orang lain atau sistem yang dikambing hitamkan?

Teori indah adam smith, dan Nash akan berlaku jika orang berlaku aktif, partisipatif, bergerak dan berusaha mencari yang terbaik, dan dinamis. Sen, walaupun setuju akan hal ini, tapi mengkritik bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan untuk melakukan hal tersebut, untuk berkompetisi di gelanggang yang sama.

Kembali ke artikel artikel di kompas, hari itu (16/10/05), topic yang diangkat adalah nelayan yang susah untuk melaut, sebelum BBM naik mereka harus keluarkan 100.000 per sekali melaut dengan hasil melaut 180.000 dibagi 2 dengan kernetnya, dengan frekuensi melaut 2 hari sekali. Yang berarti untung buat dibawa pulang hanya 10.000 perhari. Bahkan sebelum BBM naik pun penghasilannya sangat minim, Pengemis di Jakarta aja mungkin bisa dapet 50.000 per hari ( masa sih sehari semalem gak ada 50 orang yang kasih). Lalu kenapa masih dipertahankan pekerjaan sebagai nelayan? Mungkin ini salah satu lagi fenomena ketidak sempurnaan pasar, apakah memang tidak ada lagi peluang untuk mencari rezeki? Apakah memang sudah saking terisolasinya keadaan para nelayan ini???

permasalahan mobilitas sosial yang mandek memang menjadi masalah yang inheren dalam negara berkembang yang cenderung laten, dari sini lah segala permasalahan harus dilihat dan dihujjahkan. Dalam berbagai seri keluhan yang diceritakan secara gamblang dan empirik oleh ko mpas, permasalahan utama adalah ketergantungan yang tak terhindarkan pada fosil berumur ribuan tahun tersebut, seakan akan ke-inelastis-an BBM sudah mendekati garis lurus.

dikisahkan misalnya seorang pemilik katering yang mengeluhkan ketidakmampuannya menahan biaya yang merangkak naik, karena BBM naik, Seorang dayak juga dikisahkan semakin sulit mendapat minyak murah karena ongkos "taxi mahakam" tak lagi ramah di kantong.Belum lagi keluhan mahalnya makanan warteg buat mahasiswa.

Kesimpulan yang mampu kutarik dalam otak mungil ku tidak ada korelasi yang jelas antara kesulitan masyarakat dengan Naiknya BBM.-maksudnya apakah tidak menaikkan BBM akan menyelesaikan masalah yang dialami mereka-(tentu aku sadar sepenuhnya bahwa kenaikan bbm akan berakibat besar bagi kesejahteraan mereka), tapi menaikkan BBM setidaknya memberikan ruang gerak pemerintah untuk memberikan infrastruktur yang lebih baik bagi akumulasi pendidikan demi akses kesempatan yang lebih baik.

permasalahan ibu katering misalnya, pelatihan dan kesempatan untuk mempromosikan UKM yang dimilikinya akan lebih berarti bagi pengembangan usahanya, harga minyak yang tinggi di pedalaman dayak juga dikarenakan tidak adanya subtitusi yang murah bagi taxi taxi mahakam, pembangunan akses jalan raya ke pedalaman akan menjadi obat yang mujarab bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedalaman.

permasalahan nelayan dan petani adalah permasalahan yang laten dan menahun, argumentasi hal ini akan menghajar pendapatan nelayan karena membuat nelayan tak mampu lagi melaut, sebenarnya tak tepat pada inti masalah, permasalahan sebenarnya nelayan tersebut kekurangan sumber daya untuk memberdayakan diri dan, ini lah yang seharusnya ditanamkan.

Kenaikan BBM adalah Ketidaknyamanan yang benar, dan terus mensubsidi BBM adalah kebijakan termudah, jalan pintas yang nyaman tapi keliru..Naiknya biaya BBM bagi masyarakat bukan diatasi dengan memberikan mereka uang untuk membeli BBM (nota bene subsidi) tapi menyediakan pilihan bagi rakyat, untuk secara leluasa melakukan subtitusi sesuai dengan utilitas pribadinya. Energi alternatif adalah suatu keharusan, karena harga dari sesuatu ketergantungan adalah biaya yang mahal tapi adil, yang hanya akan hilang jika kita memang kita tak bergantung lagi padanya .

Bahwa momentum kenaikan BBM adalah momentum dimana kebijakan pemerintah diberdayakan sepenuhnya untuk kemashalahatan rakyat, bukan dalam bentuk subsidy setengah hati akan tetapi pemerintah bergerak sebagai stimulus rakyat untuk memberdayakan diri, dalam melakukan mobilitas sosial ekonomi baik secara horizontal maupun vertikal.

pemerintah tidak seharusnya berperan pengatur utama hajat hidup rakyat, rakyat sendirilah yang pantas menentukan utilitas dan preferensinya sendiri. pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator bahwa setiap individu bermain pada arena yang fair dan sportif. dan menjamin tiap tiap rakyat memiliki potensi untuk berlaku aktif dan dinamis

Warisan kolonialisme dan feodalisme di negara ini yang masih terasa adalah rakyat masih merasa nyaman segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh negara, (dulu oleh keraton atau kesultanan atau bahkan kaum imperialis) mitos bahwa negara, sebagai seorang bapak tak mungkin mencelakakan anak sendiri sudah lapuk dan usang. Sang bapak telah terlalu sering memerkosa anaknya, membunuh bahkan mencincang anak anaknya.

Friedman dalam free to choose menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak otonomi dalam mengatur hidupnya masing masing, seorang nelayan misalkan, apakah memilih tetap sebagai nelayan atau memutus mata rantai ke nelayanan dalam keturunannya dengan mendorong anak anaknya untuk sekolah, semua ini akan berjalan secara alami simply karena perbedaan harga relatif antara tetap bekerja sebagai nelayan dan ekspektasi pendapatan ke depan dan harga yang harus dibayar untuk membiayai sekolah dan produk akselereasi kemampuan dan keahlian lainnya.

Menurut ekonom neo klasik hal ini akan berjalan dengan baik simply dengan perbandingan harga relatif dengan tanpa pemerintah menganjurkan pendidikan 9 tahun, karena apabila pemerintah menetapkan atau mengatur dengan pemaksaan (sebagai negara yang maha tahu segala utilitas terbaik bagi tiap tiap warganya) maka kecenderungannya selalu ada ketidakberesan. Yang penting adalah kita mengutak atik harga relatifnya, rendahnya biaya untuk sekolah tentunya akan mendorong lebih banyak nelayan untuk memilih sekolah dibanding melaut.

Kesimpulan yang bisa ditarik tidak ada hubungan yang saklek antara variabel peningkatan BBM dengan penurunan kesejahteraan rakyat,keduanya adalah produk dari kesalahan masa lalu, yang satu dan lainnya telah mempercepat penuaan dan keterpurukan kedua variabel tersebut.




Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger | Blue Business Blogger