Aceh dan Mimpi Saya
Saya ngeliat hikmah dari Aceh,dalam artian itu peluang besar,
suatu daerah terbuka yang bisa kita bangun lagi dari awal, jauh dari kebobrokan jakarta dan sekitarnya (I do hope so).Aceh dari pandangan saya yang sempit, adalah region yang paling besar perannya buat indonesia di masa datang. Populasi tidak terlalu didominasi populasi tidak produktif,artinya orang muda yang produktif lebih banyak dari orang tua, infrastruktur dan tata kota juga bisa dimulai dari awal.
Sayangnya sepengetahuan saya isu besar aceh adalah relokasi penduduk, dan pembangunan fisik paska tsunami saja. Sisi ekonomisnya kurang disorot. Masalah lokalisasi industri misalnya, saya setuju dengan banyak pihak bahwa masalah aglomerasi dan faktor geografis mesti diperhatikan, hanya penting dilihat industri yang dimaksud disini. Di aceh kita bisa buat kota industri baru, padat modal dan padat tenaga kerja yang berbeda dengan kota industri seperti di Tanggerang.
mengapa berbeda? begini maksud saya; Industrialisasi di Indonesia seperti cerminan di Tanggerang dan basis "industri" lainnya selama beberapa dekade adalah industrialisasi yang semu, industrialisasi dihuni para pedagang, dan dealer (macam bapak JK) yang mengekstraksi harta bumi dengan barang modal kualitas tinggi, untuk kemudian menjualnya, ekspor non-migas kita memang sekarang berkembang, tapi isinya hanya sekitar plywood,barang barang turunan hasil bumi, apparel olahraga, dan barang barang jenis assembling lainnya. Masalahnya bagi saya ekspor tradisional ini sangat rentan dengan tekanan eksternal seperti harga minyak dan pergerakan kurs,ini karena barang barang modal nya sendiri sebagai input, kita impor dari luar negeri. Tahun 60-70an industri kita di indonesia selevel dengan korea selatan, sampai sekarang kita tak jauh jauh bahkan mulai dikejar oleh vietnam, artinya sudah ketinggalan 30an tahun dari korea selatan. Sekarang seharusnya sudah bukan era-nya jualan beras atau permen buat Indonesia, perlu ada lompatan besar di bidang industri untuk bisa mengejar negara lain.
dari sisi supply**, saya yakin kita gak pernah kekurangan, berapa ribu anak mahasiswa lulusan ITB,ITS,UNDIP,UI dll yang punya kapabilitas di bidang industri. Di bidang IT misalnya,ada seorang teman dari Burgogne bercerita kemampuan IT orang perancis sebenarnya masih standar, masih di bawah para pekerja IT indonesia. Contoh lain misalnya barang modal untuk perkakas dan pembangunan, semua barang modal untuk bangun infrastruktur di Aceh kebanyakan diimpor dari negara negara donor (kayaknya sih) Perancis, Jepang, Malaysia, dll. Saya kok gak pernah ketemu ya perusahaan besar indonesia yang mengembangkan alat alat berat setelah Texmaco. Coba bayangkan satu propinsi dibangun! berapa banyak alat berat yang dibutuhkan? dan itu smua potensi ekonomi ini bocor ke negara donor, sebagian kecil saja dinikmati oleh calo calo dari jakarta. Contoh lain barang perkakas dapur, saya pernah search di google perusahaan Indonesia yang membuat kompor listrik, keluarnya electrolux di suatu toko di glodok, padahal apa susahnya bikin kompor? (sotoy yah)
menurut saya yang suka sotoy ini masalahnya di sisi demandnya, supply** seharusnya bisa diotak atik lah, demand nya yang kurang, karena inheren sama banyak hal.
Ambil contoh kompor, mana ada investasi buat pengembangan kompor listrik dan turunannya kalau smua keluarga di indonesia masih pakai minyak tanah dan gas? di era industrialisasi sekarang ini selayaknya minyak dan gas digunakan untuk industri ,sepadan dengan harganya yang akan terus naik sampai kiamat, maka mesti industri yang menggunakan,wong cuma mereka yang bisa flexibel merubah harga barang sesuai cost produksi, sedangkan manusia sekuat apapun asosiasi buruhnya gak akan bisa naekin gaji tiap harga minyak dunia naik ,ya kan?. Makanya pengeluaran mereka juga mestinya tidak terlalu fluktuatif. Listrik dalam hal ini bisa juga menjadi fluktuatif tapi rasa rasanya tidak se-fluktuatif minyak karena hanya produk turunan dari minyak tambahan lagi listrik itu economies of scale industry, makin banyak yang pakai, makin rendah costnya beda dengan minyak yang harganya tetap karena kita impor.(tapi gak tau juga deh ga mau sok tau). Kembali ke kompor, kalo keluarga indonesia bersedia merubah gaya nya dari kompor minyak tanah dan gas ke listrik, demand kompor akan tinggi, sangat tinggi, gak usah lah kita ekspor dulu, menuhin permintaan dalam negeri pasti sudah belepotan.
Dari sini berkembang lah ilmu pengetahuan, teknologi, cluster cluster baru industry yang berakar kuat dan berkesinambungan di tanah negeri, bukan industry yang berkembang karena "orderan" assembling dari orang singapur atau malaysia. cluster cluster ini menjelma menjadi network, network anak anak pintar negeri yang menghasilkan ide ide segar, barang barang baru, yang sepertinya sekarang sangat jarang kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali.
Supply dari tenaga tenaga ahli muda ini sudah dimulai dengan proyek habibie, dengan IPTN dan lainnya, blue print riset dan teknologi kabinet sekarang juga sudah mengarah kesana,tambahan lagi bakal ada ribuan beasiswa untuk menjadi pintar dari dikti, Suatu saat ketika para cendikia ini selesai studi mereka akan mendapatkan tempat yang nyaman di pusat pusat penelitian teknologi yang bernilai jual, Saya berkhayal Aceh di masa datang kaya dengan infrastruktur dan tenaga ahli di bidang nya,menjadi semacam silicon valley di amerika serikat.
kenapa aceh? karena tempatnya yang sangat strategis, di ujung negara, dekat selat malaka,jika dibangun pelabuhan internasional (memungkinkan gak sih?)yang bebas dari pungli dan sarana jalan yang baik, kita bisa buat zona ekspor yang dekat dengan sumber industri dengan sangat mudah dengan akses yang baik ke selat malaka, baik melalui pelabuhan di aceh, maupun di medan, saya yakin bakal jauh lebih memiliki nilai jual daripada di cakung Jakarta utara.
Kedepan mungkin kita akan bisa mengekspor produk2 industri kualitas tinggi,bukan mengekspor beras dan jagung, sudah saatnya anak anak petani menjadi programer2 IT tangguh, anak anak buruh menjadi arsitek arsitek besar menjadi tulang punggung industri industri besar di Indonesia. dan biarkan para ilmuwan pertanian memikirkan bibit unggul buat makan, bukan buat di ekspor.
kuncinya menurut saya adalah kemauan untuk berubah seluruh rakyat, paradigma lama mesti didobrak, sudah terlalu lama bangsa ini lelap dalam tidurnya,membakar BBM bertahun tahun, membuang buang uang APBN untuk subsidi padahal infrastruktur pendidikan,kesehatan, dan industri tidak membaik, di papua sana masih ada orang pake kapak batu untuk mencari sagu,malah kita bangga dan sekarang menjadi obyek industri parawisata (siighh...)
tugas pemerintah di Aceh bukan hanya merelokasi penduduk atau mempetak-petakan kota, tapi membuatnya menjadi kekuatan baru di Indonesia
ps : ** untuk mengurangi salah pengertian, ini sisi supply buat pengembangan industri di aceh,-mimpi saya-, tidak merepresentasikan masalah supply di indonesia secara keseluruhan, artinya conditional terhadap masalah logistik dan pungli
mengapa berbeda? begini maksud saya; Industrialisasi di Indonesia seperti cerminan di Tanggerang dan basis "industri" lainnya selama beberapa dekade adalah industrialisasi yang semu, industrialisasi dihuni para pedagang, dan dealer (macam bapak JK) yang mengekstraksi harta bumi dengan barang modal kualitas tinggi, untuk kemudian menjualnya, ekspor non-migas kita memang sekarang berkembang, tapi isinya hanya sekitar plywood,barang barang turunan hasil bumi, apparel olahraga, dan barang barang jenis assembling lainnya. Masalahnya bagi saya ekspor tradisional ini sangat rentan dengan tekanan eksternal seperti harga minyak dan pergerakan kurs,ini karena barang barang modal nya sendiri sebagai input, kita impor dari luar negeri. Tahun 60-70an industri kita di indonesia selevel dengan korea selatan, sampai sekarang kita tak jauh jauh bahkan mulai dikejar oleh vietnam, artinya sudah ketinggalan 30an tahun dari korea selatan. Sekarang seharusnya sudah bukan era-nya jualan beras atau permen buat Indonesia, perlu ada lompatan besar di bidang industri untuk bisa mengejar negara lain.
dari sisi supply**, saya yakin kita gak pernah kekurangan, berapa ribu anak mahasiswa lulusan ITB,ITS,UNDIP,UI dll yang punya kapabilitas di bidang industri. Di bidang IT misalnya,ada seorang teman dari Burgogne bercerita kemampuan IT orang perancis sebenarnya masih standar, masih di bawah para pekerja IT indonesia. Contoh lain misalnya barang modal untuk perkakas dan pembangunan, semua barang modal untuk bangun infrastruktur di Aceh kebanyakan diimpor dari negara negara donor (kayaknya sih) Perancis, Jepang, Malaysia, dll. Saya kok gak pernah ketemu ya perusahaan besar indonesia yang mengembangkan alat alat berat setelah Texmaco. Coba bayangkan satu propinsi dibangun! berapa banyak alat berat yang dibutuhkan? dan itu smua potensi ekonomi ini bocor ke negara donor, sebagian kecil saja dinikmati oleh calo calo dari jakarta. Contoh lain barang perkakas dapur, saya pernah search di google perusahaan Indonesia yang membuat kompor listrik, keluarnya electrolux di suatu toko di glodok, padahal apa susahnya bikin kompor? (sotoy yah)
menurut saya yang suka sotoy ini masalahnya di sisi demandnya, supply** seharusnya bisa diotak atik lah, demand nya yang kurang, karena inheren sama banyak hal.
Ambil contoh kompor, mana ada investasi buat pengembangan kompor listrik dan turunannya kalau smua keluarga di indonesia masih pakai minyak tanah dan gas? di era industrialisasi sekarang ini selayaknya minyak dan gas digunakan untuk industri ,sepadan dengan harganya yang akan terus naik sampai kiamat, maka mesti industri yang menggunakan,wong cuma mereka yang bisa flexibel merubah harga barang sesuai cost produksi, sedangkan manusia sekuat apapun asosiasi buruhnya gak akan bisa naekin gaji tiap harga minyak dunia naik ,ya kan?. Makanya pengeluaran mereka juga mestinya tidak terlalu fluktuatif. Listrik dalam hal ini bisa juga menjadi fluktuatif tapi rasa rasanya tidak se-fluktuatif minyak karena hanya produk turunan dari minyak tambahan lagi listrik itu economies of scale industry, makin banyak yang pakai, makin rendah costnya beda dengan minyak yang harganya tetap karena kita impor.(tapi gak tau juga deh ga mau sok tau). Kembali ke kompor, kalo keluarga indonesia bersedia merubah gaya nya dari kompor minyak tanah dan gas ke listrik, demand kompor akan tinggi, sangat tinggi, gak usah lah kita ekspor dulu, menuhin permintaan dalam negeri pasti sudah belepotan.
Dari sini berkembang lah ilmu pengetahuan, teknologi, cluster cluster baru industry yang berakar kuat dan berkesinambungan di tanah negeri, bukan industry yang berkembang karena "orderan" assembling dari orang singapur atau malaysia. cluster cluster ini menjelma menjadi network, network anak anak pintar negeri yang menghasilkan ide ide segar, barang barang baru, yang sepertinya sekarang sangat jarang kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali.
Supply dari tenaga tenaga ahli muda ini sudah dimulai dengan proyek habibie, dengan IPTN dan lainnya, blue print riset dan teknologi kabinet sekarang juga sudah mengarah kesana,tambahan lagi bakal ada ribuan beasiswa untuk menjadi pintar dari dikti, Suatu saat ketika para cendikia ini selesai studi mereka akan mendapatkan tempat yang nyaman di pusat pusat penelitian teknologi yang bernilai jual, Saya berkhayal Aceh di masa datang kaya dengan infrastruktur dan tenaga ahli di bidang nya,menjadi semacam silicon valley di amerika serikat.
kenapa aceh? karena tempatnya yang sangat strategis, di ujung negara, dekat selat malaka,jika dibangun pelabuhan internasional (memungkinkan gak sih?)yang bebas dari pungli dan sarana jalan yang baik, kita bisa buat zona ekspor yang dekat dengan sumber industri dengan sangat mudah dengan akses yang baik ke selat malaka, baik melalui pelabuhan di aceh, maupun di medan, saya yakin bakal jauh lebih memiliki nilai jual daripada di cakung Jakarta utara.
Kedepan mungkin kita akan bisa mengekspor produk2 industri kualitas tinggi,bukan mengekspor beras dan jagung, sudah saatnya anak anak petani menjadi programer2 IT tangguh, anak anak buruh menjadi arsitek arsitek besar menjadi tulang punggung industri industri besar di Indonesia. dan biarkan para ilmuwan pertanian memikirkan bibit unggul buat makan, bukan buat di ekspor.
kuncinya menurut saya adalah kemauan untuk berubah seluruh rakyat, paradigma lama mesti didobrak, sudah terlalu lama bangsa ini lelap dalam tidurnya,membakar BBM bertahun tahun, membuang buang uang APBN untuk subsidi padahal infrastruktur pendidikan,kesehatan, dan industri tidak membaik, di papua sana masih ada orang pake kapak batu untuk mencari sagu,malah kita bangga dan sekarang menjadi obyek industri parawisata (siighh...)
tugas pemerintah di Aceh bukan hanya merelokasi penduduk atau mempetak-petakan kota, tapi membuatnya menjadi kekuatan baru di Indonesia
ps : ** untuk mengurangi salah pengertian, ini sisi supply buat pengembangan industri di aceh,-mimpi saya-, tidak merepresentasikan masalah supply di indonesia secara keseluruhan, artinya conditional terhadap masalah logistik dan pungli
9:38 AM
|
Labels:
economic development
|
This entry was posted on 9:38 AM
and is filed under
economic development
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Zal, gua setuju banget soal sdm kita yang gak kalah sama sdm luar. Gua punya temen disini yang menggeluti bidang IT, dia cerita kalo pas dia jadi research student di universitas kyushu, dia sudah bisa ngirim beberapa artikel ke jurnal internasional. Sebuah hal yang relatif sulit, yang saking sulitnya, rata2 mahasiswa doktoral disana mengalami kepayahan tersendiri. Sampai2 temen gua ini dikira profesor dari indonesia. Padahal s2 aja belon.
Masalahnya zal, given the abundant supply of skilled labor, pemerintah seperinya enggan untuk memakai jasa mereka. Banyak Doktor Indonesia lulusan Jepang yang centang perenang di Jepang, tapi emoh balik ke Indo karena ilmunya ga kepake. Dan pemerintah sepertinya enggan juga untuk memakai jasa mereka.
Soal fokus pembangunan gua juga setuju sama ente, Indonesia sepertinya belum punya cetak biru pembangunan. BAPPENAS dan BAPPEDA hanya ngurusin permasalahan administratif dan rutin. Ga perlu mikir.
memang, Indonesia masih perlu berbenah
sebenarnya cetak biru pembangunan itu ada bukan? RPJP itu kan fit?
kritik gua sih sebenarnya stagnasi kebijakan aja.kalo gue pikir2 sekarang kita mundur ke 30 taun belakang, smua smuanya ngomong pemberdayaan rakyat desa, mikrokredit ,sampe duit 3M yang dibagiin tiap kecamatan. Bagus sih, cuma jangan kesenengan disitu( bahkan sekarang sampe pake cash for worknya Bappenas)industri pengembangannya dah dilupain.
maksud gua, bangsa kita ini punya modal kok, jangan disamain ama afrika, atau sri-lanka, pakistan bangladesh, industri kita punya prospek gede. liat deh orang bangladesh dimana mana di eropa ini banyak migrant, tapi most of them kerja kasar, sedang kan orang kita kebanyakan jadi researcher, IT consultant dll. Jadi ya mesti dipikirin structural changes juga lah,selain yang ada sekarang. kalo gak 30 taun lagi anak2 petani sekarng bakal tetep ngangon kebo..
gitu sih maksud nya gua..sotoy sih
heheeh..
FYI, pembahasan RPJP belum tuntas hingga sekarang. Hasilnya; RPJM dibuat tak berinduk ke RPJP begitu juga RKP.
Sekarang urutannya jadi terbalik RKP;RPJM;RPJP
Sigh, masih mending zamannya pak Wijoyo
Saya setuju kalo sebenernya sumberdaya kita gak kalah sama orang luar. Kadang2 saya mikir ko hidup disini (Jerman) tenang banget ya, semuanya sudah terstruktur dan tertata baik. SEMUA ADA ATURANNYA! Hal yang beda sama di Indonesia dimana semuanya serba semrawut. Apalagi kalo masalah birokrasi yang berbelit-belit karena para pelayan masyarakat justru yang banyak tidak mematuhi aturan yang sebenernya udah ada. Jadi di Indonesia SEMUA BISA DIATUR!!
Kalo seandainya skilled labour yang di luar pada diminta balik ke Indo dan mereka mau, kira-kira bakal gini juga gak ya?? Kalo iya, Tanya kenapa??
Post a Comment