Pro-rakyat vs Ekonomi kerakyatan , benarkah neolib setan?
Pemilu Pilpres kali ini memang luar biasa, perdebatan baik yang produktif dan tidak produktif mendominasi media masa dari Koran hingga facebook, topiknya pun bervariasi dari perdebatan agama hingga hankam. Temanya pun selalu menarik walaupun kadang tidak substantif.
Di ekonomi, debat yang menyita tenaga dan cenderung mempertunjukan egoisme adalah kerakyatan vs neolib a.k.a saling tunjuk dan saling klaim menjadi "angels and demons". Padahal perdebatan ini tidak pernah ada di literatur ekonomi, bahkan kedua term ini cenderung tidak jelas kelaminnya. Term washington consensus dilahirkan oleh Williamson yang menyarankan beberapa poin penting demi menyelamatkan kolaps nya perekonomian negara amerika latin, intinya adalah penghematan pengeluaran pemerintah, pengurangan beban dari BUMN yang tidak produktif, dan perbaikan kebijakan moneter yang menjamin tersedianya modal bagi ekonomi, yakni investasi dan pasar modal. Term ini yang "disalah gunakan" oleh para politisi untuk menghasilkan term neolib.
Washington consensus sendiri ditujukan bagi negara yang sedang gonjang ganjing dan nyaris bangkrut, seperti yang dikatakan williamson sendiri, washington consensus adalah anjuran bagi perbaikan kesehatan ekonomi, sama sekali bukan meminimalkan peran negara dalam semua lini,tetap masih ada peran negara yang proporsional. Dalam keadaan negara terbelenggu hutang dan paceklik pendapatan seperti negara latin, adalah wajar jika anjurannya adalah untuk berhemat.
Washington consensus adalah saran pilihan kebijakan yang sama sekali berbeda dengan neolib yang lebih ke tataran "konsep" individualisme, kebebasan individu, dan hak milik. Neolib adalah konsep bahwa individu bertanggung jawab atas miliknya sendiri, dan negara tidak berhak ikut campur untuk mengatur individu.
permasalahan mendasar dari segala kerumitan ini adalah, kita pernah mengalami mimpi buruk di kala krisis, IMF yang bertugas membantu menyehatkan perekonomian
sedikit "khilaf" dalam mengeneralisasi masalah. Sebenarnya kebijakan apapun pasti menghasilkan konsekuensi, sayangnya biaya yang dibayar dikala itu menjadi terlalu besar.Ibaratnya ketika tubuh didiagnosa diabetes akut, dan amputasi menjadi saran , sedangkan si dokter tidak menganalisa efek psikologis yang timbul ex-post si pasien menjadi suka mabuk mabukan dan stress, akibatnya kesehatan pun menurun drastis. Padahal jika saja amputasi tidak dijalankan segera, kesehatan si pasien juga tidak terlanjur baik, bahkan vulnerable, karena diabetes akut akan sulit menyembuhkan luka, tertusuk duri saja resiko nya bisa maksimal.
Seperti analogi dilema dokter diatas, permasalahannya adalah tidak terintegrasinya unit pemulihan dan unit reaksi cepat, kemampuan untuk mengatasi efek negatif dari kebijakan struktural di atas. Ini yang rodrik (Prof Ekonomi Harvard) analogikan sebagai "institution", bagaimana sebuah negara mampu mengatasi konflik sosial yang (mungkin) terjadi ketika negara terpaksa tidak mampu lagi menanggung beban yang kian berat. Rodrik lebih lanjut menawarkan konsep "augmented washington consensus", yang merupakan kebijakan makroekonomi yang didukung dengan kemampuan redistribusi pemerintah ke bagian dari warga negara yang akan paling rentan terpukul. Semakin baik kebijakan redistributif pemerintah semakin mampu pemerintah fleksibel dalam mengatur perannya dalam perekonomian.
Bagaimana dengan Indonesia? saya merasa lebih tepat negara kita sudah melangkah lebih maju dalam mendekati konsep Dani Rodrik, kebijakan anti korupsi,dan berbagai konsep redistribusi sudah di jalur yang benar,perlu perbaikan? tentu saja.
orang orang yang senang memaki neolib dengan pemahaman terbatasnya mencampur adukan kapitalisme,liberalisme,Hutang-isme melawan Nasionalisme,Sosialisme, kerakyatan-isme dan segala tetek bengek isme isme yang tidak aplikatif dan jargon semu.
Ekonomi kerakyatan yang berbasis pertanian dianggap seperti (calon) malaikat,padahal konsep ini mengandung resiko besar. Ketika semua beban ditanggung negara, negara akan secara subjektif memilih beban mana yang akan ia tanggung, lebih buruk lagi sebagai alternatif ketika semua beban sedemikian berat hingga negara itu jatuh,terpuruk dan tak mampu bangkit lagi.
"sistem ekonomi yang baru" ini penuh mimpi indah yang membuat orang lupa satu hal,satu mimpi buruk yang selalu menjadi momok bagi para ekonom : -inflasi- pajak yang tidak pandang bulu, bahkan cenderung lebih besar pada yang miskin di banding yang kaya. Omong kosong jika seseorang yang beretorika pro-miskin dan pro-rakyat jika di setiap pidatonya tidak disebut sebut bahaya inflasi. Inflasi tidak hanya membuat orang menjadi makin miskin dari waktu ke waktu, tapi kebijakan distributif pemerintah juga menjadi tidak efektif dan hanya memperparah masalah. Berapapun uang yang dihamburkan ke nelayan dan petani tidak akan efektif selama harga beras dan minyak tidak stabil.
yang lucu, ada pasangan cawapres dan capres yang katanya pro rakyat tidak mengerti masalah ini. (1) menolak BLT yang katanya hanya permen, (2) menolak modal asing katanya hanya hot money, (3)ekonomi kerakyatan yang hanya nelayan dan petani
BLT itu hak warga negara miskin, dan cermin redistribusi pemerintah, Modal asing itu penting buat stabilisasi nilai tukar dan inflasi, Sedangkan kebijakan yang hanya memikirkan harga beras naik, bukan hanya tidak efektif buat para petani, tapi juga menambah rakyat miskin (petani dan non petani) semakin banyak karena inflasi yang selalu seiring dengan harga bahan pokok.
menarik,sekarang orang bebas memperdebatkan isu isu sensitif dan "ide ide besar". Yang memprihatinkan sebenarnya bukan perdebatannya, tapi "ilmu berdebat" dan pengertian tentang esensi apa yang diperdebatkan.
Seperti halnya menonton film "Angels and Demons", akan lebih baik kita melihat di sisi yang lebih luas tanpa menilai mana yang "demons" mana yang "angels", mari menilai dari mata yng jernih,maka kebenaran akan menampakkan dirinya dalam waktu dekat karena kebenaran itu tidak memihak.
11:08 PM | Labels: economic development | 31 Comments
Wawancara yang membuat mendung
Matahari masih bersinar terang di musim panas di Roma sore itu, tapi mendung nampaknya bakal terus menghantui Indonesia. Dari siaran tunda youtube seorang cawapres baru saja di sebuah stasiun swasta berkoar dengan jargon ekonominya penuh semangat, tampak sedikit frustasi dan dengan penuh percaya diri menunjuk angka angka sunyi di setumpuk kertas yang ia bawa.
Sayang seribu sayang, angka angka itu tidak hanya sunyi,tapi juga bisu, seandainya angka angka itu bisa bicara,mereka akan tertawa dan berteriak protes tak kalah penuh semangat. Seorang cawapres yang katanya jika menang akan membawa Indonesia meraih 12 persen pertumbuhan ekonomi, seorang pengusaha kaya, seorang yang pernah bersinar terang di karir militer, sekarang dengan mudahnya ditertawakan oleh angka angka.
betapa tidak? saya saja yang sedang belajar ekonomi haqul yakin kalo cawapres ini keliru. saya bahkan tak sanggup tertawa, hanya melongo,sedikit tidak percaya. Bukankah ada tim ekonomi yang harusnya "mendikte" apa yang mesti dibicarakan?
titik pertama kemelongo-an saya adalah ketika cawapres ini menunjuk pada angka impor-ekspor, yang katanya selalu positif, sedangkan cadangan devisa kita yang tidak kemana mana. Masa tidak ada yang jelaskan pada beliau kalo yang dia tunjuk itu "current account", bukan "balance of payment", mungkin dia mau merujuk pada capital account kita ketika dia menyebut dana kita lari keluar negeri. well dia mesti tanya pada temannya sarjana akuntansi, apa arti balance, dan tanya ke ahli ekonomi publik kenapa balance of payment selalu diupayakan berimbang. oh ya tanya juga pada obama, kenapa ketika current account nya amerika selalu negatif, mereka tetap adem ayem? Saya gak percaya dengan menjadi pengusaha yang ekstraktif melulu beliau bisa mandi uang kayak paman gober, tidak mungkin di balance of paymentnya beliau tidak ada duit yang dia simpen di tempat lain. Nah ini kan namanya lempar batu sembunyi tangan.
kemelongo-an saya kedua ketika dia bicara tentang growth, yang dicampur campur dengan elastisitas pengangguran. Pengertian saya tentang growth, pertumbuhan, adalah ketika faktor pendukung "tumbuh" lebih baik daripada faktor perusak. Ekonomi akan tumbuh ketika kapital tumbuh lebih cepat daripada tumbuhnya tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja.
"Tumbuh" tidak hanya berarti "menambah kuantitas" barang modal dan produksi, karena juga berarti "kualitas". Kuantitas akan menukik turun karena tambahan return yang dibutuhkan barang modal semakin berkurang. Tumbuh berarti, tambahan modal harus lebih dari menutupi biaya untuk mengganti modal yang sudah obsolete, mengganti biaya pembentukan pabrik pabrik baru untuk pekerja baru, dan mengganti biaya menyediakan "new tools" untuk para "new breed of workers", yang kebetulan memiliki skill yang berbeda dari generasi sebelumnya. Nah rencana cawapres ini adalah membuat growth 12 persen dengan membongkar hutan hutan di kalimantan dan papua untuk membuat untuk lahan pertanian, yang katanya kita masih punya keunggulan komparatif.
satu, pak cawapres mesti baca paper dari jagdish bhagwati yang merujuk pada "immiserizing growth", growth yang membuat sengsara. Membangun negara dengan dasar pertanian yang membabi buta akan mengurangi kemampuan negara ini berkompetisi. Di kala negara lain menjual chips komputer,video game, pesawat hercules dan sukhoi kita akan menjual beras, jagung dan ketan. Sayangnya kemampuan manusia makan terbatas,banyaknya uang tidak serta merta membuat kita makan jagung lebih banyak. Akibatnya kita menjual barang yang secara rata rata nilainya lebih rendah daripada barang modal,jika kita berdagang kita akan rugi.
kedua, generasi yang ada sekarang punya karakter yang berbeda dari generasi jaman pak harto dulu, jumlah tenaga kerja terdidik semakin meningkat,mustahil mewajibkan mereka menjadi "romusha", orang sekarang bebas memilih lapangan kerja nya sendiri. Seorang lulusan akademi perbankan misalnya, tidak serta merta akan bersedia bekerja di pertanian atau pekerjaan ekstraktif lainnya, seorang doktor ilmu pertanian akan lebih berguna jika disediakan balai pelatihan yang mumpuni, yang solusinya bukan saja dengan membuka lahan. Fokus di pertanian bisa,tapi tolong kualitas growthnya jangan dilupakan, tentu saja jangan terlalu banyak bongkar hutan, kasian anak anak kita nanti bernapas aja susah.
ketiga, apa otonomi daerah dipandang omong kosong? hendak kembalikah kita ke jaman
ekonomi terpimpin, yang semua orang didikte untuk membuat produk, menjual barang yang negara inginkan? apakah kita akan kembali ke era bupati bupati menjilat pantat eksekutif tanpa perduli pendapat rakyatnya lagi?
keempat, saya suka bingung dengan komentar para cawapres dan capres yang menyerang kebijakan neolib, disangkut pautkan dengan pasar modal. Pasar modal katanya setan amerika, sedangkan pertanian adalah sektor yang memenuhi asas kekeluargaan dan gotong royong. Fokus pada industri ekstraktif pertanian bakal menarik para pekerja di sektor jasa yang malah akan membuat sektor finansial kita semakin terpuruk. Susah kalo orang hanya membayangkan pemulung,pekerja kasar dan penjual tanah abang ketika menyebut rakyat. Apa para pekerja di sudirman itu bukan rakyat? pekerja pekerja berdasi itu bukan rakyat?
kemelongo-an saya yang ketiga ketika sang pewawancara panda nababan bertanya "selama ini bapak kan teori teori saja, tidak ada implementasinya" sang cawapres segera membantah, saya setuju,tolong jelaskan teori yang mana saudara panda nababan?
saya melihat cawapres ini seperti anak kecil yang melihat ibunya membuat kue, dengan alam fantasi kanak kanaknya, cita citanya adalah membuat kue raksasa sebesar rumah,sayang dia tidak mengerti esensinya membuat kue. Pengambil kebijakan publik itu seperti pembuat kue, yang penting bukan besarnya kue, tapi bagaimana racikan adonan, kekuatan mengocok, dan lamanya menyimpan dioven bisa membuat adonan "mengembang" sedemikian rupa, tapi juga mesti hati hati jangan sampai gelembung kue itu tidak pecah di mukanya sendiri.
Mungkin cawapres ini mesti baca tulisan teguh dartanto di tempo, yang mengkritik lemahnya janji surga politikus, smoga saja dia akhirnya bisa menertawakan dirinya sendiri.
6:31 PM | Labels: economic development, igauan | 0 Comments
Labelisasi : sejarah yang berulang
warteg shinta 22/05/2009
X : eh tau gak buku baru tentang bhineka tunggal ika?
Y : oh ya baru baca, tentang gerakan ambil alih mesjid itu ya?
X : hooh, bener gak ya?
Y : ah itu gua gak tertarik, yang lebih menarik tentang "sejarah" masuknya ke indonesia lebih lebih kampung halaman gua disebut sebut
X : tuanku nan renceh itu ya?
Y : yup,sang panglima harimau nan salapan..
X : Kenapa menarik?
Y : lebih tepatnya lucu,kok smua tentang isme isme yang berkembang selalu gitu nasibnya.
X : maksudnya?
Y : liat tuh wahabisme, datangnya dari luar indonesia, bikin kontroversi,yang berbeda (non wahabi) dibilang kafir,bahkan dihukum mati. Kata buku itu tuanku nan renceh itu bahkan ga terbukti pernah ke mekah, tapi radikalisme nya lebih lebih dari yang pernah belajar wahabi di mekah.
X : apa yang menarik dari situ?
Y : oh justru sangat menarik, liat kenyataannya sekarang,sebenernya di Indonesia sekarang juga lagi ada virus baru, ekonomi kerakyatan, alias sosialisme terselubung.
X : kok sosialisme?
Y : kenapa sosialisme? karena yang diserang itu itu saja, liberalisme, amerika,keterbukaan dan asing. Apa urusannya ekonomi rakyat diseberangkan dengan liberalisme? china dan India lebih terbuka dari indonesia, rakyat nya lebih tajir
X : he?
Y : ekonomi kerakyatan itu yang buat rakyat lebih baik, ya toh? kalo liberalisme jadi anti-thesis harusnya rakyat di china dan india gak lebih baik dong? anti-thesisnya liberalisme ya sosialisme, full proteksi.
X : hubungannya dengan tuanku nan renceh?
Y ; Loh belum nyambung to?
X : gini,sosialisme dari soviet,luar indonesia, semua yang gak setuju dengan prinsip sosialisme dianggap antek asing, bukan pro-rakyat, kapitalis, lintah darat, dll. Yang paling lucu juga kebanyakan pendukung juga belum pernah mengalami sendiri sosialisme ini.
X : belum pernah?
Y : ok jaman soekarno pernah, inflasi sampe beratus ratus persen, tapi kan orang udah gak inget, sejak jaman soeharto sosialisme gak pernah dipake lagi sejak soviet dan kolaps
X : hmm mirip juga ya nasibnya..
Y : satu yang beda, ekonomi itu bukan agama, ilmu ekonomi itu logika dan data,oleh karenanya berhak dipertanyakan, orang bebas untuk berbeda
11:11 AM | Labels: igauan | 0 Comments
Percakapan di sebuah warteg (II)
X :Kita ngomongin yang kemaren lagi yuk, sistem ekonomi aneh aneh itu..
Y :ok, gini sekarang mungkin supaya lebih adil,kemarin kan kita bahas banyak keynes,
sekarang menurut lo gmana tentang kutub satu lagi?
X :ekonomi pasar? hmm,kok gua liat sistem yang ini kok rada tega ya?
Y :well, gak juga,pandangan utama klasik itu setiap intervensi pasti ada konsekuensi
sering kali niatnya baik, tapi akhirnya malah jadi salah langkah.
X : kok bisa?
Y : misalnya,orang tua yang "menilai" kemampuan anaknya menggambar, dimasukan lah ikut les melukis,waktu si anak jadi habis buat melukis
X ; lho, bukannya bagus, biar potensi nya berkembang,ntar jadi pelukis hebat
Y : tidak selalu kok, masalahnya adalah "penilaian subjektif" orang tua itu, dengan mengarahkan menjadi pelukis berarti membatasi kesempatan dia untuk menjadi arsitek hebat,atau bahkan pencipta seperti leonardo da vinci yang doyan ngegambar juga.
X : iya juga ya, ini namanya biaya kesempatan yang loe agung agungkan itu ya?
Y : exactly.
X : jadi lo neolib ya?
Y : weits jangan suka ikut2 politikus deh. ide ekonomi pasar ini paling duluan ngetop, jadi banyak koreksi dan kritik, biar gampangnya kita analogikan keluarga kemarin ya, asumsikan anaknya ada dua. Masalah pertama adalah adanya "efek samping"
katakan anak pertama orangnya ulet telaten,dll, anak kedua, males, manja, ngompol sembarangan.
X :yah ekstrim banget,ekonom suka ya banding bandingin yang ekstrim..
Y :nah kalo kondisi begini si anak (1) bakal beresin terus kamarnya si anak(2),ini bermasalah soalnya anak(1)bakal berkurang belajarnya, anak(2) makin getol maen facebook.
X : yah solusinya apa dong? fatwa haram facebook?
Y :gua gak ikut ikut fatwa deh,solusinya itu orang tuanya hire pembantu,biar aja si anak (1) belajar rajin, si anak (2) juga ntar learn his lesson pas ngeliat rapot. sayangnya pembantu ini gak membantu si anak(2)cuma mengurangi repotnya si anak(1)
Y : kritik kedua informasi ga simetris,katakan gini, orang tua beliin buku buat dua dua nya maksudnya biar sama sama belajar, anak(1) dipake buat belajar, anak(2) dipake buat gambar,nah bisa ditebak fasilitasnya efektif atau nggak yang disediakan orang tua?
X : loh ini kan ala keynes dong, pake dibeliin buku?
Y : gak juga, orang tuanya kan ga nyuruh dipake buat apa, cuma dikasih buku kosong
Y : nah dua contoh kritik ini melahirkan satu cabang dalam ilmu ekonomi, namanya ekonomi publik
X : loh ada cabangnya lagi?
Y : wah masih banyak, misalnya kalo anak yang satu cacat sejak lahir, sedang anak kedua autis luar biasa, nah kalo orang tuanya ga bergerak bagaimana? dari sini lahir ekonomi pembangunan, gimana caranya dua anak ini bisa berkembang sama sama.
Y : Ada juga kasus anak (1) yang ganteng luar biasa,pinter,solatnya rajin, sedang anak(2)sedikit kurang ganteng,dan sedikit bodoh. Akibatnya orang tua bakal nah sampai kiamat juga cenderung ke anak(1) padahal anak(1) ini boros,kalo liat pasar becek maunya naek ojek, jatahnya anak(2)jadi berkurang. kalo di ekonomi namanya ini monopoli alamiah, itu lho kenapa di tempat kita ada KPPU.
X : Ada lagi?
Y : ada kasus lagi kalau preferensi orang tuanya bisa dimanipulasi,contoh orang tuanya suka sama dangdut, anak(2)kebetulan mukanya mirip ridho irama, suaranya oke punya, anak(1)ga punya bakat nyanyi. kebayang gak si anak(1)ujung ujungnya dicuekin orang tua?
X : loh kok jadi kebalik?
Y : iya, ini karena si anak(2) "memanipulasi elastisitas", orang tua lebih suka dangdut daripada liat rapot anaknya, akibatnya si anak(2)lebih diperhatikan soalnya dia exploit bakat dangdut, tapi gak pernah belajar. Dari sudut pandang welfare keseluruhan si anak(1) rugi karena dia akhirnya gak ada insentif untuk melakukan yang dia suka, belum lagi kesempatan untuk jadi jenius, hehe..
X : nah kok jadi ruwet sih, kok banyak sekali kasus nya ya?
Y : yah itu lah,masih banyak lagi kasus kasus lain, politikus kita kan nyaho nya cuma
neolib sama neolib,udah gitu belagak nantang professor ekonomi debat, tong kosong emang nyaring bunyi nya.
X : jadi siapa yang benar? makin ga jelas kalo liat koran sekarang
Y : ekonom yang salah most likely adalah ekonom yang merasa paling benar dan selalu bilang yang lain salah, ekonom yang benar adalah ekonom yang berpikir. menurut gua seorang capres tidak boleh mengkotak-kotakan diri dalam kotak neoliberal,pancasila, kerakyatan atau apapun,dia harus berdiri di atas semua itu, dengan tujuan yang satu,
kemakmuran bersama. Keadilan bagi smua, tidak hanya yang kecil tapi juga yang besar.
12:19 AM | Labels: igauan | 0 Comments
young, genius and full confidence
one of the women I admire in my life
10:02 AM | Labels: economic development | 0 Comments
kami tidak mau pamer kemewahan ?
"kami tidak mau pamer kemewahan"
"sesuai dengan visi kerakyatan kami"
kurang lebih itu kata haryanto taslam tentang rencana parpolnya deklarasi di bantar gebang.
pernyataan ini penuh dengan ironi, dan paradoks (atau bukan?). Saya tercekat, kalau memang tidak mau pamer kemewahan, mengapa tidak di teuku umar saja? atau di stasiun gambir?
kalau di bantar gebang, artinya namanya "pamer kemiskinan", "pamer keterpurukan", nah kalo ini dibilang hebat dan merakyat, negara macam apa kita ini ya, sombong dengan menjadi miskin. Saya membayangkan ketika deklarasi ini gambar gambar mega-pro bakal menyebar dimana mana di luar negeri, di televisi dan di media cetak. Calon presiden dan cawapres indonesia di sela timbunan sampah. Mau dikemanakan martabat bangsa? Orang mungkin bilang"ini yang nyata nyata saja, masih banyak orang miskin di negara kita", well menurut saya capres dan cawapres memang tidak mesti menjual janji muluk, tapi juga tidak mesti belagak miskin. Presiden itu simbol negara, simbol harapan dan cita cita.
Bisa dibayangkan mirisnya hati ini melihat capres indonesia di bantar gebang di "siaran tunda" youtube, mungkin tak smua merasakan, hidup di negeri orang, jauh dari keluarga, sekolah tinggi buat negeri, dus calon pemimpinnya malah sudah mengerdilkan bangsa sendiri.
tentang visi kerakyatannya, apakah itu ekonomi kerakyatan mereka? ekonomi sampah? Wah hebat nian. Lalu dianggap apa orang orang yang banting tulang di jalan sudirman, anak anak muda di kampus kampus yang belajar dengan optimisme dan hausnya ilmu.
tuhan, manusia memang keterlaluan..
10:44 PM | Labels: igauan | 1 Comments
Resume Dagelan politik pencalonan cawapres
Masih ingat dengan hingar bingar politik beberapa hari yang lampau? bising, sekaligus terlihat dangkal. Isu yang paling menyedihkan adalah ketika sekumpulan partai (yang mengaku) islam
merendahkan kualitas iman atau identitas keislaman seorang muslim. Seorang guru yang bersahaja, yang dari sejak awal ingin kembali ke kampus.
Seorang yang tidak ingin berkuasa, tapi bersedia jika bangsa meminta. Apalah arti menjadi wapres baginya? uang sudah cukup, usia sudah tidak muda, tidak ada partai yang perlu dipuaskan. Tetap saja partai partai itu menyerang karakter guru kami itu dengan tanpa malu.
apa jawabnya? saat deklarasi dia hanya berucap " saya tahu pencalonan saya menjadi kontroversi, tapi itulah konsekuensi dari demokrasi yang hidup .." tidak ada sindiran kasar, tidak ada celaan, tidak juga pembelaan.
Tuhan, kau mensaksikan betapa orang yang merasa paling islam itu memang sholeh, tahajudnya banyak hingga dahi hitam, tapi tuhan smoga kau tidak lupa keadilan juga buat guru kami, jagalah beliau di masa datang, dia akan pergi menuju lembah hitam tak berujung. Jagalah dia, karena aku tidak percaya pada orang orang (yang katanya) representasi muslim itu...
berikut tulisan ayu utami, sedikit banyak merekam apa yang terjadi beberapa hari ke belakang "
Naik Kereta dengan Pak Boed
Sunday, 17 May 2009
Memang saya lega ketika nama Boediono dipastikan menjadi “permaisuri” bagi SBY. Karena itu, ketika diajak naik kereta bersama Pak Boed,saya pun mengiya.Kami naik kereta Parahyangan.Bukan kereta terbaik dan tercepat menuju Bandung.
Kursinya agak apek dan WCnya, meski tersedia tisu, tetaplah berbau, serta ada segumpal tisu yang menyisip di jendela kakus itu. Tapi, ini adalah perjalanan awal yang baik bagi seorang calon negarawan. Perjalanan yang sederhana dengan kendaraan rakyat. Hari Jumat itu akan ada Deklarasi “SBY Berbudi”, alias SBY bersama Boediono.Tapi, sekelompok intelektual dan budayawan sepakat untuk “menculik” dan “menginisiasi” Pak Boed dulu sebelum deklarasi besar.
Sebagian mereka misalnya Taufik Rahzen, Faisal Basri, Muhammad Chatib Basri, dan penggagas acara Rizal Mallarangeng, yang mengenal Pak Boed secara langsung sejak mereka mahasiswa dan sang tokoh adalah dosen bersahaja. Acara “inisiasi” terhadap Pak Boed juga sederhana, dilaksanakan di Gedung Indonesia Menggugat, tempat Soekarno dulu diadili. Cawapres pun “diadili”, disuruh mendengarkan nyaring aktor Wawan Sofwan mementaskan teks pembelaan Soekarno selama hampir 20 menit.
Setelah itu mendengar pidato sastrawan Goenawan Mohamad juga hampir 20 menit.Pak Boed sendiri tak diberi kesempatan bicara sama sekali.Ini adalah “inisiasi” melepas seorang teman, seorang dosen, menjadi negarawan. Di kereta Parahyangan menuju Bandung itu, Pak Boed pergi ke kamar kecil.Seperti biasa juga ibuibu bertanya,“Apakah WC cukup oke”. Sambil senyum-senyum,Pak Boed berkata, “Kalau bisa tahan, sebaiknya tahan saja”.
Saya kira bukan mengeluh, melainkan ia justru mengerti bahwa ibu-ibu selalu lebih repot menggunakan kakus daripada para bapak. Memang saya lega bahwa SBY memilih Boediono. Alasannya jelas. Saya orang nonpartai yang banyak bekerja di bidang seni–– dunia yang membutuhkan iklim kebebasan kreatif. Satu. Saya prihatin melihat “mating season”–– musim cari jodoh—yang menjadi ajang dagang. Tawar-menawar perjodohan kandidat presidenwakil hanya merupakan tawarmenawar kekuasaan dan jabatan.
Kepentingan bangsa tak menjadi pertimbangan. Dua. Karena hanya kepentingan jangka pendek yang jadi pertimbangan, dua jenderal yang menyimpan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu diterima. Saya kenal pribadi almarhum pejuang hak asasi manusia Munir, istrinya Suciwati, atau Mbak Pon, istri penyair Wiji Thukul. Maka, saya punya perasaan langsung mengenai mereka yang dibunuh atau dihilangkan dalam masa tanggung jawab kedua jenderal tersebut. Menerima dua sosok itu berarti menerima kembalinya pelanggaran hak asasi manusia.
Tiga. Buat non-Muslim maupun Muslim yang percaya bahwa Indonesia seharusnya plural dan tidak diskriminatif, wacana yang dilancarkan PKS dan beberapa tokoh PAN pekan lalu sungguh tidak menyenangkan. Pekan lalu tokoh-tokoh PKS jelas menyatakan gusar karena Boediono tidak mewakili umat Islam (menurut pandangan mereka). Tapi, apa itu Islam bagi mereka? Agaknya,bagi PKS pekan lalu, seorang muslim yang saleh dan bersahaja belum cukup menjadi bagian dari umat Islam.
Seorang Boediono yang beribadah tanpa berteriak, tanpa dahi hitam atau janggut, tanpa istri banyak menjadi tidak cukup islami. Hanya anggota PKS barangkali yang islami. Maka ekonom Faisal Basri pun merasa bahwa Pak Boed dizalimi oleh tuduhan neoliberal dan tidak islami. Karena itu, ia bersedia memperpendek acaranya di Singapura dan menyusul ke Bandung untuk membacakan doa dalam “inisiasi” terhadap Pak Boed di Gedung Indonesia Menggugat. Tapi,persiapan Deklarasi “SBY Berbudi”menyebabkan kemacetan parah di Bandung.
Faisal pun turun dari mobil di ujung jalan untuk berlari mengejar waktu. Ia tetap terlambat sehingga doa dibacakan oleh Taufik Razen sebab Pak Boed harus segera bertemu SBY untuk persiapan Deklarasi. Malamnya deklarasi dibacakan. Dan PKS? Setelah pekan sebelumnya menggertak-gertak kini mereka tetap bagian dari koalisi “SBY Berbudi”.
Begitulah.Saya ikut naik kereta dengan rombongan Pak Boed ke Bandung. Tapi, sebagian kami tidak ikut Deklarasi dan pulang sendiri-sendiri. Buat saya, satu tahap terlalui dengan baik: Setidaknya ada pasangan presidenwakil yang tidak sekadar bagi-bagi kekuasaan atau berbercak darah. Tahap berikutnya menyediakan persoalan berikutnya.(*)
Ayu Utami
ayuutami@ayu utami.com
6:19 AM | Labels: igauan | 2 Comments
sistem ekonomi ala percakapan warteg
X : you kmaren simak berita gak? gua ilfil banget nih katanya presiden kita neolib ya?
Y: oh nonton sih, ah biasa lah itu politik, politik kan tembak tembakan, mo nembak dari sisi mana terserah anda, hehe.
X : lo kan belajar ekonomi ya, apa sih neolib itu? produk amerika ya? produk setan?
Y: mesti diluruskan, neolib itu setahu saya suatu faham sama halnya dengan marhaenisme soekarno, dan lain lain jadi bukan hanya untuk ekonomi saja orang suka campur campur kapitalisme neolib, amerika dan lain lain padahal itu beberapa entitas yang terpisah
X: duh itu apa lagi sih?, satu satu aja lah neolib itu apa sih?
Y : neolib mungkin yang orang mengerti tidak jelas, sebagian besar orang hanya membaca dari wikipedia, atau sumber sumber yang partisan dan parsial, tanpa mengerti apa philosophi dasar nya, sama halnya dengan sosialisme, marxisme, dll, liberalisme itu salah satu jalan menuju kemakmuran semua, hanya dalam perspektif yang lebih adil.
X : wapres kita ekonom ya, dia ikut ikut neolib?
Y : sebenernya neolib tidak pernah ada dalam sistem ekonomi manapun, ketika ekonomi disebut sistem, artinya ada sesuatu yang tidak berdasarkan pada mekanisme pasar per se. hampir 10 tahun saya belajar ekonomi, neolib tidak pernah menjadi mazhab resmi, yang ada ekonomi klasik dan neoklasik. Perlu dipahami ekonomi itu tidak statis, sangat dinamis, setidaknya sampai kini tidak banyak bukti valid yang mana yang paling benar, setiap sistem punya kelemahan dan kebaikan sendiri
X : bisa jelasin singkatnya gmana?
Y : mungkin simpelnya gini, ekonom klasik dan neo klasik percaya peran pemerintah yang seminimal mungkin, walaupun bukannya tidak ada, bastiat misalnya menolak peran pemerintah di pasar, tapi peran pemerintah tetap perlu di beberapa bidang. anti-thesis yang paling keras adalah sosialisme, tidak ada pasar, yang ada hanya perintah.
Y : oh ya perbedaan yang paling mendasar antara keduanya liberalisme menjunjung tinggi hak, tapi minimal kewajiban, sedang sosialisme menjunjung kewajiban mutlak, dengan hak individu yang minimal
Y : di ekonomi ada satu lagi mahzab, namanya keynesians, diambil dari ekonom dan matematician hebat J.M keynes, nah di ilmu ekonomi keynes dan ekonom klasik (dan varian keduanya) yang tetap hidup sampai kini, berdebat dan terus berkembang. Tidak ada yang namanya neolib atau apapun itu. Apalagi sosialisme, itu sudah mati sejak tahun 1990. Kenapa? karena ekonom melihat apa yang telah terjadi dengan negara negara dengan sosialisme paska jatuhnyaUSSR, ambruk, nyaris sekarat.
X: siapa lagi keynes ini?
Y: dia ekonom hebat, kritis karena pada saat ekonomi dunia krisis, ekonomi sulit untuk berkembang, patut dicatat dalam dalam, keynes tidak menolak Pasar!, keynes menilai perlu mekanisme tertentu agar supaya mekanisme pasar berjalan dengan semestinya. ini yang orang tidak juga mengerti.
, si anak dibiarkan bebas berekspresi, lambat laun anak itu akan belajar sendiri cara untuk hidup. Anak akan akhiranya mandiri, tapi tak terhitung beberapa kali dia harus jatuh dan bangun lagi. kapan kapan kita bahas baik buruknya ya..
X : kalo sosialisme?
Y : nah ini sebaliknya, anaknya diproteksi penuh, gak boleh interaksi dengan teman, tiap hari dicekokin bahwa dia anak hebat, semua maunya dikasih, tapi semua semua diatur, dari mau makan sampai buang air. Akibatnya karena terlalu diatur semua harus persis dan detail, ada takarannya masing masing. Kebayang gak kalo buang air ditakar? :)
X : keynes?
Y : nah keynes ditengah tengah, dia kayaknya orang tua yang cukup bijak, hehe
X: nah jagoan nih keynes, kenapa gak pilih keynes saja?
Y : wah belum tentu, gimana kalo anaknya banyak? orang tua itu akan sibuk sendiri
saking sibuknya bahkan gak bisa ngurus semua anaknya dengan semestinya, lama kelamaan dia akan lebih restriktif daripada distributif. Lebih repot lagi kalo orang tuanya gak bijak, dan berat sebelah, nanti ada yang terkorbankan, misal anak cewek sama anak cowok, anak ceweknya disuruh kawin muda, anak lakinya boleh sekolah, padahal anak ceweknya lebih pinter dari cowoknya. jadi sensitif sekali dengan preferensi orang tuanya. Anak yang dijadikan anak emas juga akan jadi malas dan lamban bahkan manja. Dalam sistem ekonomi negara ini masalah super-besar
X : waduh repot ya ternyata
Y : iya makanya jangan suka banyak komentar dulu kalo gak ngerti, minimal pelajari dulu
X : lalu kenapa orang banyak ngomong tentang sosialisme sekarang?
Y: Biasa orang kita suka terjebak romantisme sesaat, dan suka menilai sesuatu secara parsial, ekonom selalu percaya ada efek samping, namanya trade off, jika Pilih A dari B, maka selalu ada konsekuensinya dibanding pilih B dari A, dari sini kita mengukur pilihan kita.
X : jadi pilih capres yang baru deklarasi kemaren?
Y : saya ga ada urusan dengan capresnya, tapi cawapresnya memberikan statement teduh di hati ini, dia bilang " dia mau menggugat penjajahan baik dari luar negri...DAN DALAM NEGRI
X: maksudnya dalam negeri?
Y: di dalam negara ini terlalu banyak penjajah, yang selalu bilang "mana bisa" bukan "kita bisa"
yang slalu mengerdilkan negeri kita kecil, sempit, hina, miskin. Bodoh..itu lah kalo kita hanya macam kodok dalam tempurung, senangnya eksklusivisme.
X; siapa mereka?
Y : oh banyak, bahkan salah satu capres yang maju nanti sempat tertangkap kamera sewaktu ada diskusi dengan pengusaha dia bilang " rakyat kita itu penuh dengan kemiskinan dan kebodohan", miris saya dengarnya.
11:02 PM | Labels: igauan | 0 Comments
Sehari dengan teman fiktif (2)
X : ya gua kan liat yang nyata nyata aja.
Y: betul, tapi kan juga mesti objektif, kalo cuma komentar kosong bisa jadi fitnah. Jadi gini, orang miskin dan pengangguran itu mesti dibedakan. Pengangguran, itu bisa jadi pilihan, dan miskin itu bukan selalu konsekuensi logis dari menganggur pengangguran itu kompleks loh bisa macem macem, so gak segampang lo ngomong di warung kopi.
Y : manusia hidup perlu uang, kalo dia leyeh leyeh tapi masih bisa idup berarti either jadi parasit or dia punya cukup uang tanpa kerja, artinya dia memilih untuk tidak kerja,
X : namanya pengangguran friksional ya?
Y : iya, mahasiswa yang nganggur itu pilihan namanya voluntary unemployment, menganggur
karena mereka mau kerja pake dasi, bukan jualan lotere, atau buka toko di tanah abang
X: terus kenapa banyak yang ga dapet kerja buat yang nyari?
Y: namanya juga kompetisi, ada yang kalah ada yang menang, ada yang dapet kerja ada yang masih mesti sabar nunggu sampe ada perusahaan yang narik. Asalkan ekonomi kita tumbuh terus kita gak terlalu khawatir, cuma memang semakin rigid gaji semakin susah lah perusahaan nambah pekerja ya gak?
Y : ini bukan masalah kapitalis, logika saja, kalo nambah terus pekerja emang nambah untung?nah kalo rugi gimana? bukannya makin banyak PHK jadinya?
Y: di negara negara komunis orang dilahirkan udah jadi pekerja, dia bakal kerja jadi buruh terus
seumur hidupnya, kerjanya bikin produk yang udah diset buat mereka, kayak robot. Kadang romantisme ini diikutin sama orang yang kerja di sektor buruh, padahal justru dengan sistem yang ada sekarang orang bisa jadi buruh di satu periode, tapi juga bisa jadi pemilik modal di periode berikutnya,
Y: people miss the forest for the trees, kadang orang lupa hal hal seperti itu, bahwa kita punya pilihan. Jadi lo pikir kalo sistem mana lebih baik?
X : gak tau ya..
Y: well kita bisa pilih yang ditengah tengah, pasar full berkuasa bisa baik, tapi kalo setengah setengah bisa amburadul, nah kondisi ekonomi kita selalu setengah setengah, ada yang korupsi, ada yang tajir banget sampe semua lini ekonomi dikuasai, nah untuk itu ada peran pemerintah sedikit, peran distributif namanya, pajak dan subsidi maen disini
X: nah itu pemerintah tanggung jawab dong..
Y: betul, tapi lo bayar pajak gak sih? kalo iya bayar berapa?
X: pajak penghasilan gua kayaknya dipotong, gak tau juga ya ga pernah cek
Y: nah itu lah, sebagian dari kita terlalu banyak nuntut, tapi partisipasi gak mau, masalah kemiskinan misalnya berapa sih uang yang lo kasih ke orang miskin tiap hari? Padahal pemerintah mesti bayarin PNS, bayarin pengeluaran ugal ugal-an DPR, pejabat, diplomat, dll
X: kan banyak dipake utang tuh? uang pajak kita?
Y: Yah nambah lagi deh idenya, utang itu mesti dibayar, masak mau ngemplang? semakin cepet dibayar semakin baik, biar gak nambah banyak, ya toh?
X: iya tapi katanya presiden kita ngutang terus toh?
Y : well utang itu membeli waktu, asal kita punya uang untuk bayar balik gak masalah, dulu kan maslahnya utang bisa, tapi bayarnya mikir nanti. Utang itu seperti kalo lo punya kartu kredit, terus mesti bayar kos-an akhir bulan, padahal gaji baru awal bulan. (1) Asal lo masih bisa bayar kan gak masalah? (2) yang penting utangnya dipake buat yang produktif, bikin jalan, bikin rumah sakit, dll.
X: maksudnya?
Y : Sama kayak lo pake kartu kredit lo, kartu kredit akan sangat berguna kalo gak kebablasan belanja, sama yang lo beli bisa lo gunain, gak langsung ilang gitu aja. contoh : beli pake kartu kredit untuk makan di starbucks atau untuk bayar sekolah anak? outputnya starbucks kan lo buang ke WC doang. Loe pikir kenapa banyak diskon kartu kredit buat hal hal ga produktif macam itu? itu loh yang beli satu dapet dua hheehe..
10:56 PM | | 0 Comments
Sehari dengan teman fiktif (1)
suatu hari di warung kopi di sebuah kampung yang letaknya di jantung kota jakarta :
X : Pemerintah itu sama aja, presidennya lamban, negara kita merana terus
Y: eh, kenapa kok, tiba tiba jadi politikus? "sambil menyeruput teh panas yang gulanya terlampau kurang"
X : iya pengangguran dimana mana, kemiskinan merajalela, harga harga mahal, negara kita terpuruk, negara gagal!
Y: now now, jangan suka mangkel mangkel ga jelas lah, satu satu dong, emang pengangguran dimana mana ya? buktinya situ kok kerja? di tower tower tinggi pake dasi pula. Orang miskin yang mana sih yang lo maksud. kok kayaknya orang di kantor makan di tempat tempat mewah ga masalah tuh?
X: loh sampean ini gimana, kita harus liat lebih luas itu banyak orang miskin di jalan jalan,mahasiswa pada nganggur..ga liat?
Y: gini bung, kok ente liat orang miskin dari jalan jalan kota jakarta sih? ente tau gak pengeluaran di jakarta berapa? waktu gua baru lulus gaji gua yang beberapa juta aja gak cukup buat idup enak
X: nah iya, itu salah pemerintah dong..
Y: tunggu.. belum selesai nih, kalo orang yang lo sebut miskin itu memang miskin, bagaimana mereka bisa tinggal di jakarta? minimal mereka harus bisa idup dengan 1 juta rupiah lah
X: ya iya tuh kan susah banget idup mereka, miskin, minta minta, jadi hina bangsa kita..
Y: hmm, gini ya manusia itu punya pilihan, memilih selalu yang terbaik kan?nah kalo memang dia jadi peminta minta, dan itu terus menerus ia lakukan, kamu pikir itu mereka lebih milih jadi buruh yang gajinya 750 ribuan?
X : ya, makanya gaji buruhnya dinaikin dong
Y: duh satu satu dong kalo komentar, jadi sekarang lo bisa bedain gak miskin atau gak miskin?
X: he?
10:22 PM | | 0 Comments
Faisal basri : Honest comment on Boediono
http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/05/14/pak-boed-yang-saya-kenal/
- Sisi lain Pak Boed yang saya kenal
- Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 297 Kali -
-
Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna.
Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati.
Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang.
Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya.
Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi.
Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun.
Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah … Keesokan harinya, saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan.
Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito.
Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka.
Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.
Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang tunggu) bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu Pak Boed. Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaannya.
Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang memang terkesan serba “wah.” Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari mobil dinas gubernur.
Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.
Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol Neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang kian terasa langka di negeri ini.
Maju terus Pak Boed.
seperti bang faisal saya hanya bisa berucap " Maju terus Pak Boed"
tapi saya juga berdoa, smoga orang yang mencela anda dengan kata apapun tanpa alasan yang jelas di balas dengan setimpal dan seadil adilnya,Aminn..
5:31 AM | Labels: copy-paste, igauan | 8 Comments