Resume Dagelan politik pencalonan cawapres
Masih ingat dengan hingar bingar politik beberapa hari yang lampau? bising, sekaligus terlihat dangkal. Isu yang paling menyedihkan adalah ketika sekumpulan partai (yang mengaku) islam
merendahkan kualitas iman atau identitas keislaman seorang muslim. Seorang guru yang bersahaja, yang dari sejak awal ingin kembali ke kampus.
Seorang yang tidak ingin berkuasa, tapi bersedia jika bangsa meminta. Apalah arti menjadi wapres baginya? uang sudah cukup, usia sudah tidak muda, tidak ada partai yang perlu dipuaskan. Tetap saja partai partai itu menyerang karakter guru kami itu dengan tanpa malu.
apa jawabnya? saat deklarasi dia hanya berucap " saya tahu pencalonan saya menjadi kontroversi, tapi itulah konsekuensi dari demokrasi yang hidup .." tidak ada sindiran kasar, tidak ada celaan, tidak juga pembelaan.
Tuhan, kau mensaksikan betapa orang yang merasa paling islam itu memang sholeh, tahajudnya banyak hingga dahi hitam, tapi tuhan smoga kau tidak lupa keadilan juga buat guru kami, jagalah beliau di masa datang, dia akan pergi menuju lembah hitam tak berujung. Jagalah dia, karena aku tidak percaya pada orang orang (yang katanya) representasi muslim itu...
berikut tulisan ayu utami, sedikit banyak merekam apa yang terjadi beberapa hari ke belakang "
Naik Kereta dengan Pak Boed
Sunday, 17 May 2009
Memang saya lega ketika nama Boediono dipastikan menjadi “permaisuri” bagi SBY. Karena itu, ketika diajak naik kereta bersama Pak Boed,saya pun mengiya.Kami naik kereta Parahyangan.Bukan kereta terbaik dan tercepat menuju Bandung.
Kursinya agak apek dan WCnya, meski tersedia tisu, tetaplah berbau, serta ada segumpal tisu yang menyisip di jendela kakus itu. Tapi, ini adalah perjalanan awal yang baik bagi seorang calon negarawan. Perjalanan yang sederhana dengan kendaraan rakyat. Hari Jumat itu akan ada Deklarasi “SBY Berbudi”, alias SBY bersama Boediono.Tapi, sekelompok intelektual dan budayawan sepakat untuk “menculik” dan “menginisiasi” Pak Boed dulu sebelum deklarasi besar.
Sebagian mereka misalnya Taufik Rahzen, Faisal Basri, Muhammad Chatib Basri, dan penggagas acara Rizal Mallarangeng, yang mengenal Pak Boed secara langsung sejak mereka mahasiswa dan sang tokoh adalah dosen bersahaja. Acara “inisiasi” terhadap Pak Boed juga sederhana, dilaksanakan di Gedung Indonesia Menggugat, tempat Soekarno dulu diadili. Cawapres pun “diadili”, disuruh mendengarkan nyaring aktor Wawan Sofwan mementaskan teks pembelaan Soekarno selama hampir 20 menit.
Setelah itu mendengar pidato sastrawan Goenawan Mohamad juga hampir 20 menit.Pak Boed sendiri tak diberi kesempatan bicara sama sekali.Ini adalah “inisiasi” melepas seorang teman, seorang dosen, menjadi negarawan. Di kereta Parahyangan menuju Bandung itu, Pak Boed pergi ke kamar kecil.Seperti biasa juga ibuibu bertanya,“Apakah WC cukup oke”. Sambil senyum-senyum,Pak Boed berkata, “Kalau bisa tahan, sebaiknya tahan saja”.
Saya kira bukan mengeluh, melainkan ia justru mengerti bahwa ibu-ibu selalu lebih repot menggunakan kakus daripada para bapak. Memang saya lega bahwa SBY memilih Boediono. Alasannya jelas. Saya orang nonpartai yang banyak bekerja di bidang seni–– dunia yang membutuhkan iklim kebebasan kreatif. Satu. Saya prihatin melihat “mating season”–– musim cari jodoh—yang menjadi ajang dagang. Tawar-menawar perjodohan kandidat presidenwakil hanya merupakan tawarmenawar kekuasaan dan jabatan.
Kepentingan bangsa tak menjadi pertimbangan. Dua. Karena hanya kepentingan jangka pendek yang jadi pertimbangan, dua jenderal yang menyimpan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu diterima. Saya kenal pribadi almarhum pejuang hak asasi manusia Munir, istrinya Suciwati, atau Mbak Pon, istri penyair Wiji Thukul. Maka, saya punya perasaan langsung mengenai mereka yang dibunuh atau dihilangkan dalam masa tanggung jawab kedua jenderal tersebut. Menerima dua sosok itu berarti menerima kembalinya pelanggaran hak asasi manusia.
Tiga. Buat non-Muslim maupun Muslim yang percaya bahwa Indonesia seharusnya plural dan tidak diskriminatif, wacana yang dilancarkan PKS dan beberapa tokoh PAN pekan lalu sungguh tidak menyenangkan. Pekan lalu tokoh-tokoh PKS jelas menyatakan gusar karena Boediono tidak mewakili umat Islam (menurut pandangan mereka). Tapi, apa itu Islam bagi mereka? Agaknya,bagi PKS pekan lalu, seorang muslim yang saleh dan bersahaja belum cukup menjadi bagian dari umat Islam.
Seorang Boediono yang beribadah tanpa berteriak, tanpa dahi hitam atau janggut, tanpa istri banyak menjadi tidak cukup islami. Hanya anggota PKS barangkali yang islami. Maka ekonom Faisal Basri pun merasa bahwa Pak Boed dizalimi oleh tuduhan neoliberal dan tidak islami. Karena itu, ia bersedia memperpendek acaranya di Singapura dan menyusul ke Bandung untuk membacakan doa dalam “inisiasi” terhadap Pak Boed di Gedung Indonesia Menggugat. Tapi,persiapan Deklarasi “SBY Berbudi”menyebabkan kemacetan parah di Bandung.
Faisal pun turun dari mobil di ujung jalan untuk berlari mengejar waktu. Ia tetap terlambat sehingga doa dibacakan oleh Taufik Razen sebab Pak Boed harus segera bertemu SBY untuk persiapan Deklarasi. Malamnya deklarasi dibacakan. Dan PKS? Setelah pekan sebelumnya menggertak-gertak kini mereka tetap bagian dari koalisi “SBY Berbudi”.
Begitulah.Saya ikut naik kereta dengan rombongan Pak Boed ke Bandung. Tapi, sebagian kami tidak ikut Deklarasi dan pulang sendiri-sendiri. Buat saya, satu tahap terlalui dengan baik: Setidaknya ada pasangan presidenwakil yang tidak sekadar bagi-bagi kekuasaan atau berbercak darah. Tahap berikutnya menyediakan persoalan berikutnya.(*)
Ayu Utami
ayuutami@ayu utami.com
6:19 AM
|
Labels:
igauan
|
This entry was posted on 6:19 AM
and is filed under
igauan
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
2 comments:
Great Blog..!!!! Keep Blogging.... :)
Season of the Witch divx [url=http://connections.blackboard.com/people/e0d182e612]Season of the Witch movie on line [/url] Season of the Witch film imdb
Post a Comment