Long Hiatus to come
I might close this blog for a while.
many things happened these days
I just need to focus my mind
Thank you all for Reading and commenting
May god Bless you all.
Amin.
Rajawalimuda
9:24 PM | Labels: the end? | 3 Comments
don't blame it all to globalization
unemployments and unequal distribution of wealth problem should not make us blaming the rich, Being rich is not a sin, but yes, something need to be done, we can not let the poor trap in poverty but how? not by blaming globalization for sure. Investors in the millenium era will not invest their money on labor-intensive products, instead on products with capital intensive industries with high demand in high skilled workers. That's a solid fact, and to be able to get higher labor-growth elasticities we need more flexibility in job market and more skilled labor.
The world is moving on, and so should we. weisbrod et.al (2007) shows that people moving on from agricultural activities to non-farm work will generally able to move out of poverty, the answer of poverty and wealth distribution in my opinion is not by forcing back young indonesian to farming activities with government subsidies, if they wanted to be a farmer that's fine, but not because government makes them richer than they should have been. Because it distorts occupational choice, and it won't be able to break intergenerational wealth transmission.
who really are the unemployed? young-urban women, we need to make them able to compete in the job market. Human capital training, though will take time to harvest, seems to be highly beneficial. It is interesting to mention that in the article the informal sector seem to be regarded as "bad omen", in fact it contributes largely to the urban working woman.
The limited jobs in formal sectors is only one factor of the thriving informal sectors, another reason is that simply it is profitable to work in informal sectors. The problem of informal sector is the high risks attached and possibilities of working children, however in the contrary it works very well in alleviating poverty for young urban residents. Working in formal sectors doesn't mean having better condition than the informal ones; and there is no high correlation with poverty. In fact the poor (in Indonesia ) is the one who do work in formal sectors.
China and India, the two countries with large growth as mentioned in the article do have large inequalities, it's a transition period, as inequalities will strive in lower level of development, as time goes by, and when people are adjusting, I think this inequalities should goes down.
as a book said about china economy :
"getting rich first"
8:07 PM | Labels: economic development | 1 Comments
a self interest benevolence
let see, when Indosat (the one mr.You-know-who always bragging about) was in our hands, do poor people get benefit from that? when Pertamina got rich do poor people will directly increase their welfare? a clue, NO.
but hey, when Indosat got privatized, what had happened? the cost of calling people suddenly drop, Telkomsel was forced to pull some strings too on their profit. Good thing for the less fortunate people huh? of course not for the richer ones, they lost lots of profit from Indosat selling. but hey for now we get cheaper price, but unfortunately crappy quality as well. Need more option in the market though, Big players such asTelkomsel and Indosat might need a better competitor in the future. So we can get better provider, with cheaper services.
Back to assets, I am really not an expert in this, and I am not writing this to show that I am having some kind of renaissance in religious thinking. I just think this is a good idea to distribute assets and more opportunities and empowerment to the poor, yes its about assets, just less "ekonomi rakyat", or "komprador", or anti "neoliberal" label in it.
mind you, but the only one who getting rich has always been the one with greater access to the power, and hence I don't really think having assets like Indosat, caltex, (or whatsoever the target of the you-know-who) might benefit the poor. Instead the poor will still be marginalized by our bureaucratic systems.
If you consider yourself nationalists you might consider to contribute to this or this. its all about a collective action in providing public services. No unlawful confiscating asset needed, just a simple philanthropy. Remember that Adam smith, the father of economics, strongly advise small government, but he himself regard benevolence as a supreme virtue. A free will based benevolence, a self-interest benevolence.
3:58 PM | Labels: economic development, unek unek | 3 Comments
Ayo Indonesia !
I must in some sense agree with yusuf kalla. our economy is growing 6 percent, while others on the verge of breaking down. In this case the government's economic ministers must be given some credit. SBY and JK, despite of many blunders they have made, in some point have courageously shown their plan in putting away our nation dependence on oil source-fuel. This is as well need to be given extra credit, while all other preceding presidents have no guts to do.
Our nation is evolving, and criticism from fellow economists is good, as long as it is not intended for political purposes.
it is easy to distinguish political criticism, First, it is almost always come from the same groups/political party/ and politicians. Second, these critics seems to be related with normative terms than empirical studies. Third, most of this politician only say what people want to hear, and never ever do the opposite.
3:46 AM | Labels: economic development, unek unek | 29 Comments
Satu tulisan kompas yang menyedihkan
artikel ini juga menyesatkan karena ;
pertama, IMF bukan representasi perdagangan global, entah apa justifikasinya perdagangan global direduksi menjadi satu institusi keuangan internasional. Pernahkah ada teori yang menyatakan begitu? perdagangan bebas adalah IMF? saya yakin tidak. Jikalau artikel ini hendak menyerang SAP IMF, maka objek serangan adalah IMF, bukan perdagangan bebas.
Kedua, justru sistem subsidi di eropa barat untuk petani nya yang membuat investasi pertanian di negara berkembang terhambat, (1) karena negara berkembang tidak diijinkan menjual hasil pangan sesuai dengan harga keekonomiannya, subsidi di eropa dan amerika mengkamuflase harga, dan membuat investasi tidak berkembang. (2) Ada kuota tertentu dalam pengiriman barang pertanian. artinya ada dua pembatasan, baik dari harga maupun kuantitas.
contoh negara haiti misalnya, yang ditekankan adalah IMF memotong tariff, padahal memotong tariff akan membuat penduduk akan mendapatkan harga beras yang murah dengan kuantitas yang lebih banyak. jadi pemotongan tariff bukan lah masalahnya, tapi subsidi di amerika dan eropa yang membuat padi non-organik mereka lebih murah. Tentu sisi buruk subsidi ini tidak dibahas di artikel yang tidak objektif seperti ini, yang dilihat hanya sisi yang bisa membantu anti-tesis nya terhadap perdagangan bebas.
Ketiga, artikel ini juga mengesampingkan efek lain yang menyebabkan kenaikan harga pangan, seolah olah kenaikan harga pangan hanya dipicu oleh kebijakan salah dari IMF. Kenaikan harga minyak, dan fakta bahwa semakin banyak penduduk dunia yang mengkonsumsi daging dan oleh karenanya meningkatnya konsumsi pakan ternak juga adalah faktor signifikan yang secara sengaja disembunyikan dari pembaca. Satu tipikal tulisan kelas tabloid yang tidak objektif, ditulis demi melonjaknya tiras dan jumlah pembaca.
Keempat, meningkatnya produksi crops (bahan pangan yang bisa dijual) dan menurunnya produksi staple foods di negara negara afrika juga hanya dilihat dari sudut pandang yang sempit. Petani bergerak berdasarkan insentif, ketika harga barang pangan ditekan, sedangkan harga crops menjulang, tentu mereka akan memproduksi crops. Kunci disini adalah ketersediaan pasar untuk menjual crops tersebut. Keterbukaan pasar membuat mereka bisa mengalokasikan sebagian produksinya kepada bahan pangan yang menghasilkan uang, di sisi lain petani tidak memiliki insentif untuk meningkatkan produksi staple foods, karena tidak ada pasar disini. Pembeli dan penjual tidak bebas menjual hasil produksinya. Yang berbahaya adalah ketika kedua pasar tidak berjalan, petani akan menuju ke arah produksi yang self-subsistence dan produktivitas menurun tajam.
Investasi terhadap bahan pangan memang seharusnya dilakukan, tapi savings dan investasi tidak harus dilakukan oleh pemerintah, swasta harus diikut sertakan, Kebijakan pembatasan impor dan intervensi harga juga akan menggiring ke arah yang salah di kemudian hari.
Menyedihkan karena smua kata kata artikel ini akan ditelan bulat bulat bagi pembaca kompas dimanapun berada, dan kompas sebagai pendistribusi informasi bertanggung jawab penuh atasnya. Hanya untuk seonggok tiras, informasi dibelokkan sedemikian rupa.
3:48 PM | Labels: economic development, unek unek | 5 Comments
Organda tak pernah bermutu!
dan masih kah rakyat kita mendengar ocehan retorik ini? bisa jadi.
kalo kita menilik fenomena lebih jernih, sebenarnya apa masalahnya disini?
kita review faktanya : bis antar negara malaysia lebih murah, sedangkan bis kita lebih mahal, Penumpang adalah pekerja indonesia yang tingkat pendapatannya rendah. sekarang masalahnya adalah para pengusaha organda gak mau ilang untung, mereka gak mau bis malaysia ngambil semua sumber uangnya, tanpa memikirkan jalan lain mereka minta harga BBM nya di subsidi.
catatan : (1)Bahkan dengan subsidi pun disparitas harga masih tinggi antara malaysia dan bis organda (2) Dengan hanya terdiri dari tiga perusahaan bis organda jelas monopoli atau oligopoli, yang mempermainkan harga dan kualitas pelayanan bagi para pekerja berpendapatan rendah.
jikalau para politikus itu mendukung para pencari rente ini, maka apakah mereka membela rakyat? tentu tidak, siapa yang dibela? pengusaha yang memaksa harga tinggi. Tidak perduli apakah itu bis berbendera malaysia atau israel sekalipun, asalkan mereka menawarkan harga lebih rendah jelas akan lebih baik bagi pekerja miskin daripada berbendera indonesia dengan harga mencekik.
Biarkan saja lah pengusaha itu bersaing secara sehat, pengusaha punya akses terhadap uang dan fasilitas, asalkan tidak manja seharusnya mereka mesti melakukan terobosan, apalah itu yang bisa membuat pasar menjadi monopolistik, membuat mereka menjadi unik. Bukannya merngek memohon uang pemerintah. Malah menuduh pertamina cari untung, kalo pertamina dapat untung baik dong buat budget pemerintah? cuma tiga pengusaha bis ini yang rugi, mesti kerja lebih keras.
jika mereka disubsidi lagi, ada dua kerugian, pertama pemerintah mesti ngasih duit ke mereka (dalam bentuk subsidi) duit pemerintah buat yang keperluan lain terpakai. Untuk siapa? untuk organda tak bermutu! untuk organda ini pemerintah harus rela kekurangan duit untuk infrastruktur dan beasiswa pendidikan, sungguh tak masuk logika orang yang membela para pengusaha malas ini.
2:41 AM | Labels: unek unek | 4 Comments
ide muluk dan basi AR
Another so called great idea of AR,
(1) ekonomi rakyat vs ekonomi pasar,
(yeah right, just go home and rest..ide ide anti-kolonial ini udah basi, berdebu dan sumpek. Ngerti ekonomi pasar aja nggak, sok sok ngomong ekonomi rakyat, apa sih ekonomi rakyat?
apaa ituuuu ekonomi rakyaaatttttt???
knapa ekonomi pasar berlawanan ekonomi rakyat?
btw, sejak kapan negara kita adopsi ekonomi pasar? apa karena harga BBM gak disubsidi? apa karena kita berdagang dengan negara lain? the fact that the state still subsidize many things, and BUMN people is still running around on the market, or when we are still paying for the DPR bills (and of course was his bills) then we are not on the free-market economy!, which is not our goal by the way, however competitive market is. not free market per se! jikalau saudara AR lebih jeli, seharusnya tau apa itu definisi ekonomi pasar, atau setidaknya tidak mengumbar umbar kalimat yang tidak dia mengerti.
Sebagai orang tua saudara AR sebaiknya melihat lebih jernih dan bijak, lihat lah sesuatu dari sisi yang berbeda, baru ambil kesimpulan. Sayangnya saudara AR dkk terlalu mabuk dengan ketokohannya, dan hanya mendengar orang yang selalu setuju dengannya. Seperti halnya ketiga tokoh presiden sebelum SBY.
(2) tidak memiliki mental bangsa asing superior, lah sapa ya yang punya pikiran ini?, memiliki anti-bangsa asing superior bukan berarti bangsa asing itu musuh toh? imperialisme, sekrup, kacung, apa lah istilahnya, kan istilah anda juga bung AR, sekarang jaman negara negara kerja sama, ini malah pengen menutup diri, makin ketinggalan toh, mana tuh yang punya visi ke depan? saya juga bisa kasih saran, liat bangsa lain itu sebagai sesama manusia, bukan musuh jaman perang.
(3) menegosiasi ulang kontrak migas, ok trus, apa? ujung ujung nya kan cita -citanya mau macem fadjroel rachman yang nasionalisasi aset? jaman 1945-an aja sampe sekarang aset belanda yang dinasionalisasi masih jadi masalah besar buat kita, BUMN kita yang produktif dan efisien cuma segelintir, trus sekarang mau ngambil semua aset yang ada biar dikelola pemerintah? pertamina ngurus gas aja berabe, ini mo dikasi blok blok lain? Yah ambil aja deh bung fadjroel, ambroel udah negara kita ntar.
kalo rakyat indonesia aja bosan dengan retorika SBY sekarang, apa masih bisa nerima komentar komentar retorik macam begini? blom lagi ocehan sarumpaet yang ngaco naujubilah..blah smoga aja presiden taun depan gak kayak begini begini..
5:39 AM | Labels: capres, unek unek | 12 Comments
Capres 2009
Senang nonton dan baca tulisan ini.
betul banget omonganya tulisan ini, dua capres terakhir di liputan 6 cuma Napsu ingin tenar modal omong kosong..
Sarumpaet kelaut ajeee...
8:13 AM | Labels: capres | 0 Comments
Intermezzo on one of these hectic days
Been busy with my so called memoire and I stumbled upon this guy, wow, his works are always amazing, at least for me I can't resist to "blogmarks" it here. one recent paper discussed in Rodrik's Blog, yeah! even he, got impressed. Very interesting indeed...
update : oil price is skyrocketing, 144 USD/barrel, yeah and those guys in Senayan are still acting Mr.Right for the sake of political expected return in 2009. what a crap.
2:55 PM | Labels: economic development, kontemplasi | 1 Comments
Nice writing from a first year student
I consider This a sincere and honest writing of a first year student in FEUI in the jakarta post, I found it very nice and encouraging. I share the same awkward feeling when I was taught by Mme Sri mulyani, it was my third year on advanced macroeconomics and it keeps me survive up to the very moment.
7:06 AM | Labels: kontemplasi | 2 Comments
I was really amazed by the cool stuffs in the US electoral news at the CNN, all the graphs and statistics, not to mention all touch screen describing political strategy reviews. And I understand that the electoral projection is as sophisticated as in the news.
I would like to have this cool stuffs and projections in poverty rate and well being level some day, in Indonesia. yeah may be someday, minute to minute headcount poverty rate. Hope someday this kind of data will be profitable enough to cover the maintenance cost. hey, people can always their wildest dream right?
10:22 AM | Labels: Cool stuff, poverty | 0 Comments
Welfare = cheap gasoline ? mind you Mr.Expert
the only thing they understand about welfare is that gasoline is cheap, end of story. Yeah right and why all the best welfare state in the world had their gasoline prices even higher than the international market? (which means taxing it instead of subsidizing in scandinavia!) You say they don't have oil reserves? nope, they had lot's of oil all over them, they just choose something better to do than oil subsidy, like perfect health service, technology and education support. And they are on the way of liberty as they learned lesson from their 70's mistakes.
6:01 AM | Labels: BBM | 0 Comments
Selamat jalan mba winefrida...
4:28 PM | Labels: kontemplasi, news | 0 Comments
new ways to contribute
wow, this is new, proud of you guys lads..
Your report is not the thing that matters, it is the changing ways of voicing le voix du peuple that matters, this is exactly what to do, discussion is always a better solution.
Let's discriminate our self than non-intellectuals, and preman wannabe!
1:35 AM | Labels: kontemplasi | 6 Comments
Lesson from Emil salim ; Thank you sir
let's unite Economists newbies!
see how Emil salim speaking about Total football economics! Creativity and value added Economics for the better future! let's them fight with all political crap, but we should not rest to show what's wrong and what's right, for the better sake of our country!
11:48 AM | Labels: kontemplasi | 27 Comments
Pupus sudah !
Sudah lah, mungkin saya harus ganti kewarga negaraan saja. kalau masih terus berulang ulang seperti ini kapan negara ini bisa berubah, 30 tahun dari sekarang kita akan masih saja diributkan dengan masalah subsidi BBM atau tidak.Politikus-politikus senayan dan istana adalah partner, bukan lawan. Suara rakyat memang mesti didengar, itu jelas, akan tetapi tidak smua suara itu logis dan benar, karena tidak semua orang mengerti apa sebab dan akibat dari kebijakan, tidak smua orang bisa lepas dari ke-subjektifan penilaiannya. Oleh karenanya pemerintah dan legislatif harusnya lebih arif dalam menyaring suara suara yang mereka dengar, bukan sebaliknya, mengucapkan apa yang ingin didengar, katakan lah yang benar walaupun pahit. Pejabat sudah semestinya melihat ke depan dan lebih luas dari apa yang menjadi persepsi rakyatnya, dan jika visi nya membuatnya beresiko tidak dipilih lagi oleh masyarakat, itu adalah resiko yang mesti diambil.
saya tergelitik sebenarnya berkomentar tentang politisi yang saya sebut di atas, "biar sekarang jalan rusak dulu, yang penting dapur ngebul" ini jelas satu kesalahan besar terucap dari orang yang menjadi representasi jutaan manusia dari sabang sampai merauke, ucapan seperti ini jika terucap dari warga biasa contoh si A, adalah suatu ungkapan yang jujur. Beda dengan pejabat publik, seorang politisi tidak bisa melihat dari sisi A saja, ada si B yang membutuhkan bahan pokok di pedalaman sana, yang tak kunjung menerima pasokan dari kota terdekat, karena jalan jalan rusak. Ada juga si C seorang petani yang tak bisa menyekolahkan anaknya karena selain sekolah tidak ada di daerahnya, sehingga biaya nya sangat tinggi, akibatnya anak petani itu pun kehilangan kesempatan menjadi seorang insinyur atau seorang dokter di kemudian hari. Tapi nyatanya politisi ini lebih senang bicara tentang A daripada B dan C, karena lebih dramatis, politis, dan kesan-nya bermoral dan anti pemerintah. Sekilas mungkin politisi ini berpihak pada A, tapi di jangka panjang dapur A bukan saja mungkin tak lagi bisa ngebul, anak anak A tidak bisa sekolah karena memang tidak ada lagi sekolah, pelayanan kesehatan juga semakin jarang karena semua pos strategis untuk infrastruktur dipangkas. Jadi, apakah politisi ini memihak A? jika kita melihat lebih jernih tentu kita akan berkata tidak. Collier dan Gunning (2005) mengkritisi keras perilaku seperti ini menyebutnya sebagai intertemporal syndrome, setiap pemerintahan pasti memiliki masalah trade off antara konsumsi masa kini dan masa datang, disebut syndrome apabila pemerintah memprioritaskan sedemikian rupa konsumsi masa kini, hingga level dimana konsumsi aktual masa depan akan menjadi lebih kecil dibanding mas kini. Suatu cacat logika menahun dari aktor aktor intelektual senayan kita.
Pemerintah yang korup bukan hanya mereka yang mengambil harta rakyat dimasa kini tapi juga yang mensita harta rakyat di masa depan, lebih lebih lagi potensi harta yang akan diambil adalah harta yang berpotensi diambil oleh orang yang kurang beruntung saat ini, demi kepentingan harta dari orang yang lebih beruntung. Masalah intertemporal ini yang tidak juga dimengerti oleh para economist wannabe mendadak ini. Seorang teman dalam sebuah diskusi bahkan menyatakan "tidak perlu seorang ekonom untuk mengurus negara jika harga BBM dinaikan terus", mungkin benar, tapi mungkin perlu seorang ekonom untuk mengingatkan bahwa negara ini mesti punya umur yang panjang, berkelanjutan dan berkembang.
Sayangnya mereka tidak juga mengerti, dan sayangnya mereka berjumlah sangat banyak, mungkin sebaiknya tidak usah diingatkan lagi, tinggal silahkan sekarang pilih apakah memang negara ini mau tetap jalan di tempat sampe kiamat nanti, atau menjadi cina cina baru, atau India india baru di generasi mendatang.
5:50 PM | Labels: BBM, kontemplasi | 5 Comments
Gugatan Kepantasan
Cross posting dari cerita seorang mualaf :
di awal keislaman, saya paling suka jika ramadhan tiba..
sejak mengalami boikot ekonomi dari ortu, sebagai konsekuensi keislaman itu, maka sedikit demi sedikit saya belajar harus membiayai diri sendiri. dari design stiker sampai jadi drafter tugas arsitektur. alhamdulillah, saya tidak pernah kekurangan.. walau juga tidak tahu, apakah sudah lebih atau malah kurang..
saya suka berpuasa… -jujur- bukan demi ketakwaan, karena memang kadang makanan saya tuk sehari ada atau seharinya lagi tidak ada.
maka saya suka bulan ramadhan tiba.
karena di bulan ramadhan setiap hari itu berpuasa.
sehingga saya tidak usah bingung mau makan apa hari ini.
dan berbuka menjadi sangat nikmat..
walau hanya sederhana.
dan saya suka sedih kalau ramadhan itu akan habis.. karena saya akan kebingungan, tuk berlebaran di mana, seperti apa, dsbnya. alhamdulillah, seorang karyawan di tempat saya menitipkan diri dan bekerja di sana, sering mengajak saya berlebaran bersamanya. namanya teh Dedah, seorang yang invalid, cacat kaki, berumah sangat sederhana di bilangan balubur..
melihatnya yang sudahkah sangat sederhana, maka saya suka tidak tega ikut merepotkan berlebaran di rumahnya. maka di suatu lebaran, saya berniat tuk sendiri saja, di tempat kerja itu.
berbekal beberapa rupiah, saya berniat lebaran mandiri..
tiba-tiba, di malam takbiran.. pintu rumah kerja itu diketuk. dari panitia idul fitri masjid sekitar sana. saya diminta membayar zakat fitrah, plus seandainya mau dengan infak dan sodaqohnya..
saya terdiam sesaat..
ada yang sesak, tapi entah apa..
maka kemudian dengan ringan saya pun mengambil berapa rupiah itu dan membayar apa yang menjadi kewajiban saya. karena sejujurnya, mengapa juga saya harus merasa sedih, bukankah dari pertama saya masuk islam, -ada uang atau tidak-, saya selalu membayar zakat fitrah berserta infak dan sodaqohnya?
meski kata qur’an, sebagai mualaf, saya berhak atas zakat..?
saya tidak akan bilang kalau saya ini adalah mualaf hanya tuk sekedar diberi uang zakat. mereka toh juga tidak bertanya. alhamdulillah, selama di awal kemualafan dulu, saya tidak pernah menerima uang zakat..
saya hanya inget, sejak kecil saya diajari ibu tuk tidak menjadi peminta-minta. beliau mengajari saya berbagi dan bukan tuk hanya menerima, apalagi meminta..
maka dengan sisa uang itu, saya membeli indomie. tuk sampai libur lebaran usai dan saya akan kembali memutar roda hidup saya..
di hari fitri itu, saya mengenakan baju baru hasil jahitan sendiri. tempat saya kerja adalah sebuah usaha baju muslimah. saya bisa mencicilnya nanti kalau hanya sekedar kain tuk baju yang baru. maka menghabiskan malam takbiran sendirian, dengan sibuk di depan mesin jahit adalah sebuah kenikmatan..
paginya langsung saya pakai baju itu dan berangkat sholat ied di lapangan sekitar masjid..
semua orang tampak suka cita..
saya hanya sendirian, tersenyum jika ada yang menyapa.. dan kembali sendirian..
sambil menatap langit, saya hanya ingin bilang..
ya Allah, temenin donggg..
gi pengen temen nihhh..
temenin yaaa..
maka setelah sholat ied, saya bersalam-salaman dengan semua ibu-ibu yang ada.
lalu pulang ke rumah, memasak indomie, dan menyantapnya dengan santai sambil menghabiskan bacaan saya.
saya sangat berterimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu di awal keislaman saya. semoga Allah membalas budi baik itu dengan kenikmatan yang terus menerus.. sebagaimana selalu saya kenang dan tidak pernah ingin hilang..
alhamdulillah, indomie di hari fitri..
saya bisa berislam dengan mandiri..
maka kemudian saya nih suka merasa geli kalau melihat orang sampai berbuih-buih mulutnya, membicarakan islam berikut ayat-ayatNya. pandai mengaji, tafsir dan ilmu fiqih.
apa mereka pikir itulah islam?
padahal islam tidak akan kita ketahui sampai kita melaksanakannya? hehahaha
indomie di hari fitri..
saya senang..
bisa berislam..
dengan mandiri..
dan saya buktikan..
saya bisa..
alhamdulillah..
makasih ya tuhan..
anis
Kita sering lupa siapa yang kita bela. Ketika mereka, yang kita bajak namanya berjuang berpuasa, apakah yang kita lakukan ?. Kita buang buang energi untuk bersumpah, dan menyalak melempar batu dan menumpahkan darah! kemudian dengan mudahnya me re-charge energi itu dengan makanan makanan legit dan nikmat, mengulanginya lagi dan lagi. Kita, yang menepuk dada membela orang miskin ini, apakah kita pantas untuk membela mereka?
3:31 AM | Labels: BBM, kontemplasi | 4 Comments
Mimpi Mimpi indah
Masa depan itu masih tidak pasti, tapi seandainya boleh, mari kita berandai andai, atau mungkin bermimpi, mimpi yang indah. Ruang gerak APBN tentu saja akan lebih leluasa di rezim yang baru nanti, saya mau berandai sekiranya apa saja yang bisa dilakukan. Kompas(6/04) memperkirakan 30 trilyun rupiah bisa dihemat. Setengah akan disimpan, setengah lagi akan dikucurkan sebagai bantalan bagi rakyat miskin, berarti 15 trilyun dana segar. sekiranya jadi presiden dana tambahan 15 trilyun di APBN periode berikut, saya bermimpi dan mengigau begini :
[1] merujuk kepengalaman negara scandinavia, uang penghematan dari penjualan minyak dialokasikan sebagian besar dalam bentuk dana abadi, yang berkembang biak untuk kemudian digunakan dalam beberapa dekade ke depan. katakanlah 5-10 trilyun di belikan obligasi international. tambahan 10 trilyun lagi dari penghematan dana kementrian. jadi sekitar 2 milyar dollar, dengan rate investment 2 persen saja bisa terkumpul 200 milyar rupiah per tahun, ini berbeda dengan menyimpan uang di BI yang tanpa bunga hingga sekarang. Entah apakah ada peraturan penyaluran dana APBN di luar negeri, tapi penyaluran dana keluar negeri jelas lebih baik daripada menyimpan dana di bank komersial di indonesia, karena resikonya efektivitas Bank sentral berkurang.
[2] Alokasi dana pendidikan. Beberapa waktu yang lalu demonstrasi di kampus BHMN makin menjadi, alasannya dana pendidikan naik dari satu juta menjadi sekitar 5 juta persemester, di satu sisi transformasi lembaga pendidikan untuk perkembangan sumber daya manusia menuntut perbaikan tebal kantung, sisi lain, semakin sulit mahasiswa untuk mengalokasikan pendidikan. Di Denmark, Swedia, dan Norwegia, sepengetahuan saya ada mekanisme dimana student bisa meminjam dana dari pemerintah. Pinjaman akan dibayarkan dalam jenjang waktu tertentu, setelah mahasiswa itu selesai dari periode sekolahnya. Dana ini akan bergulir setiap tahun, sehingga uangnya tidak menguap sia sia, tentu butuh perencanaan terperinci tentang ini, tapi potensi untuk menuju ke arah ini tetap ada. Dana penelitian sudah selayaknya ditingkatkan, Penelitian teknologi pangan, perikanan, dan teknologi tinggi sudah selayaknya didaya gunakan dengan poros-poros pendidikan sebagai tulang punggungnya. lembaga lembaga penelitian plat merah juga semestinya bekerja sama dengan universitas, demi bergulirnya transfer of knowledge yang berkelanjutan. Tidak hanya disimpan di loker loker berisi laporan laporan tebal.
[3] Pemberdayaan economics intelligences, saya kurang tau persis, apakah data departemen perdagangan cukup detail tentang perekonomian negara negara tradisional tujuan ekspor, tapi tampaknya sumber data masih bersumber pada data pihak ketiga, hasil agregasi. Contoh sumber data yang berguna seperti survey nasional di perancis misalnya, atau survey longitudinal tentang konsumsi rumah tangga di eropa, atau perkembangan data penjualan sektor unggulan indonesia di Eropa, dengan kode ISIC yang mendetail (setau saya di eropa ISIC nya bisa sampai 6 digit), dll. sepertinya sangat perlu untuk kita miliki untuk pemetaan potensi ekspor Indonesia, sebagian dana bisa digunakan pula untuk ini. contoh kecil, diseluruh benua eropa, saya hampir yakin industri souvenir parawisata didominasi produk dari cina, ini salah satu kejelian dari intel intel ekonomi cina.
Hari ini mimpi saya baru tiga, smoga nanti ada igauan dan mimpi mimpi lainnya..
11:05 AM | Labels: economic development, igauan | 0 Comments
BBM, logistik, dan Politikus bebal
BLT sangat penting artinya bagi rakyat miskin untuk bertahan dari eksternal shock ini, sayangnya tingkat kesalahan penempatan yang tinggi (smeru estimates : 45% salah sasaran), dan tingkat korupsi yang tinggi sangat mengganggu proses ini, studi dari Olken(2005) menunjukan rent seeking behavior besarannya berbanding lurus dengan banyaknya tangan birokrasi, semakin menuju ke sasaran, semakin besar pula rent seeking tersebut, studi dari Gauthier(2007) juga menunjukan bantuan kesehatan sebagian besar tidak sampai ke sasaran, di uganda misalnya, 86% dana kesehatan di korupsi dalam bentuk rent seekers pada harga obat (nilai obat lebih besar dari nilai asli atau obat yang diberikan gratis diperjualbelikan), dan berkurangnya dana yang mengalir ke fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukan betapa sulit pendistribusian BLT tersebut tanpa sistem yang jelas. Sebagai institusi, kantor pos yang tersebar di seluruh indonesia, akan lebih baik dalam menyalurkan dana BLT, begitu pula dengan kantor PPK (penyalur dana kecamatan development project), akan jauh lebih baik lagi jika orang miskin memiliki rekening di kantor pos dan mengatur sendiri uang nya tersebut. Cek kosong berupa kupon terbukti tidak efektif karena kupon tersebut sendiri adalah quasi-money yang dapat diperdagangkan.
Masalah yang sama terjadi pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan inkind relatif tidak efektif dibanding dengan bantuan uang, kemungkinan pertama, barang yang datang tidak sesuai nilainya dengan nilai pembelian. Kedua, bantuan berupa barang (terutama kertas dan buku) beresiko tinggi diperdagangkan (seperti kupon dan kasus obat) oleh oknum sekolah. Seperti umumnya masalah principal-agent, masalah korupsi yang tinggi ini harus diperbaiki dengan sistem insentif dan supervisi yang tepat carrot and stick dalam artian payung hukum yang tegas sangat krusial dalam hal ini.
Jika memang PT gas negara, BULOG dan pertamina tidak mampu mempermudah akses terhadap gas, dan bahan pokok maka sudah selayaknya pertamina dan PGN dan BULOG dilikuidasi dan kita membuka lebar lebar terhadap perusahaan distribusi asing.
8:43 AM | Labels: BBM, economic development | 6 Comments
Cincha goes to harvard
I must admit she got the spirit. But lack of attitude. As far as I know, we Indonesian rarely talk like you did chincha, bragging around for studying in harvard, princeton and Yale. we do have those dreams in mind, but we understand one word,"uncertainty", so we always watch our mouth and tongue. I really not in the mood for commenting her, but I'll post this anyway. the kid is not to blame,there's something wrong with the society raising her.
12:50 AM | Labels: rubbish | 4 Comments
The "Ujian nasional "
the final exam itself is a bad incentives stimulant, stick and carrots would not be able to work efficiently as long as the agent and the principal has diverse and contradicting objective. The fact that strict exam might undermine the prestige of schools, as most of the students probably failed, the agent-principal problem, is a way that a principal ask an agent to do something for the expense of his utility, and compensate it in the future, the problem won't be solved by giving bad names to schools and giving extra credit to the successful ones, this in fact distracts the incentives, as people will force to cheat, when the first mover will profited from it.
the problem is, one, the principal can not always been able to supervise the schools, and therefore, they need some other carrots for other success indicators. In addition, we need to lay off bad assumption and stupid paradigma, as the failure in the sacred national exam is the end of the world. In france, similar exam take place, it is called le bacalaureat (bac in short) some says, it's so brutal and demanding, especially in aljabar, and mathematics. People who managed to overcome it, in flying collours, will be awarded by cheap cost of study up to PhD level, the grades are not very important.
Those who were not able to get Bac level, will still get jobs, it's not the end of the world. They normally work as rough workers, field technician, etc. Which promise quite attractive remunerations (in relative terms). To eliminate the incentive to cheat, I think we need to change our paradigma, leaving university is not a shame, it's an opportunity, those who are able to pass the final exam should be able to get the high school diplome, however, still they could not get higher education without passing it first. those who doesn't pursue their education has better things to do, working, those who pursue another level of education are those who in the end will become low level managers, junior consultant, etc. This is what I really meant about carrots, the incentives now divided in two hierarchy, higher level of income of education in the future, or lower income but more time to develop experience. The ujian nasional should not circumcise the opportunity of students, instead, giving them choices, with clear consequences
9:09 AM | | 1 Comments
Bernoulli's error in Politics
the drama in national awakening party precisely shown both cases, both parties under disputes seems to care too much in their ability to control others, afraid of losing in the face of their own fanatic supporters, but care very less in losing in the national election next year. They prefer to focus on short term risk than long term gain, as the disputes made non-traditional supporters look another way in the coming election. The increasing uncertainty in probability of winning also seems to validate the nobel laureate hypothesis, as people assign much higher probability of truth in their opinion than is warranted , not only in the short run they are risk averse, they also believe that they are the potential absolute winner. Which in many cases proven to be another way around
11:28 PM | Labels: human behavior, politics | 65 Comments
Bernanke, we'll be watching you...
for those who share the same class with me, guys, remember when he was bragging about the CBS system? (in this video this is also the abreviation of Columbia business school)
for those who doesn't know anything about the beauty of Pak Anwar, should understand better by seeing this post
by the way please enjoy the video, tribute to dhira for the link, absolutely hilarious
3:24 AM | Labels: economic development, macroeconomic, video | 2 Comments
Social capital Inequality
how does it work exactly?
the ad-hoc approach of social capital in empirical analysis is trust indicator, and kinship relationships, but rarely significant (as my supervisor constantly reminded me..siggh..), it turns out that these indicators might affect people in both ways positive and negative, this allegedly conditional to the income level.
Poor people tend to be excluded socially and a subject of derogatory discrimination, therefore routinized relations and daily encounters between people generate social norms which shape patterns of inclusion as well exclusion of social activities. In other word, close relationship between people could constrain or enable the social structure of the poor.
Kinship variables, showing close relationship in siblings, or families, often seen as a remedy for risk alleviation for the poor, the poor will always be able to count on their relatives aid in case of unexpected external shock. The problem is, their families them self are poor, relying on them is not sufficient nor sustainable. Neighbor and friends closeness are considered in Putnam's work as a means of maintaining friends, and networks. The problem is the network it self was originally based on unequal status. The relations among people might be maintained just as close as clientage arrangement, as people acquire their resources by borrowing (credit), cheap labor (food exchange) which implies negotiations in their agreed terms, very often that the negotiation is not favorable for the poor. The paper stated "poor people relationships to those nearest to them in blood, marriage, and residence were therefore characterized by continuous supplication and unequal exchange".
In terms of collective action, social capital turns out to be less favorable to the poor, as the poor categorized with severe poor health and lack of food, which eventually lead to lack of productivity, therefore less opportunity to participate in a collective action and thus less money gained for such activity. This is interesting, as this imply to different caste of poor, there are poor people, able to move on, accumulating resources overtime, and less fortunate poor, continuously sank to the bottom of the income distribution.
People should see poor as a singular, not plural word, then we would be able to see clearer, one is transitory, and one is chronic poor. Something failed to consider in ad-hoc static poverty measurement
11:17 PM | Labels: economic development, poverty, social capital | 0 Comments
The economics of PKB
Very recently, the media was bombarded by the clash within the Nation awakening party, the political party is divided into two different sides. I would like to see how the economics rational explaining it. It should be clear that I am not a supporter of both parties, it is interesting for me however, all that had happened are turn out to be logically rational.
ISLAH on the way?
if that's the case, then why is so hard for them to do islah? it's not very surprising, because the islah is in fact not a sustainable point. This means that there are problem in dynamic inconsistencies in doing islah, preferences of both parties will change overtime. You see, say M is willing to accept islah, they might move from every point inside the cone to one point at the blue line, M groups are signaling, they are ready for peace treaty, calling disarmaments in their side. the problem with this, is that in the other side GD will now have a stronger incentive to wipe out all the M group, and therefore they will opt for a corner solution, choosing the 100 percent voters on the rightest point of the blue line. This happens for vice versa, with the benefit of the second mover. This explains why both parties decided to wait. As long as both parties don't have credible expected peace commitment there will no be islah. Both parties seem to send signals of continues fighting.
why are they fighting anyway?
I am not a politician, I honestly don't know. In economics literature conflicts might happen depends on the feasibility of such conflicts, internal splits or whatever we call it.
feasibility depends in two term, benefit and cost, according to Collier (2005,2006) , conflicts will happen wherever it is feasible to do.The benefit is high, since the general election is coming, more pie will be available in the near future, and if they are lucky, less mouth to feed. The cost is not enormous, some says in PKB, GD is irreplaceable, so preference toward GD is almost inelastic to external shocks. the last but not least is the probability to lose and to win, if we say the non-activating of M is a coup d'etat process then it's a rational thing to do, because historically, the other group tend to win anyway.
what about in the future?
the problem of conflicts is, it works in economies of scale framework, it gets better when it escalates even more. the losers will ask for friends and allies for help, and so do the winners, both parties accumulating their power in the expense of others which tend to be persistent Collier(2002) call this a conflict trap. I don't really understand politically, but fragmenting a political party in many small pieces is not very healthy for them, just look at PPP, or others. one thing for sure, if GD wins once more time, the more likely this things happen in the future, in an increasing scale of splits. this might happen in the future either because the probability of winning is getting higher, or whereas the cost turned to be insignificant. However no matter how significant that might be, it seems that the counter reaction is getting tougher everyday.
well, just see what will happen shall we?, time will tell.
9:27 AM | Labels: microeconomics | 6 Comments
a very brief look of scandinavian economics
Having the opportunity to study abroad, doesn't literally mean study in the campus alone. Everywhere I go,I always seen something interesting to watch, to learn, from other people, everyone. last weekend, I went to sweden, I spent a day in Stockholm,but spent most of my time in Uppsala,45 minutes by train from Stockholm. A perfect city, i would say, not too noisy like paris, less risk to be lonely than staying in Norway's country side. a small city, with surprisingly large mosque, the traffic was normal,no more embouteillages, but unfortunately no metro, nor tramway running around the city as well, but the transport was good, kinda expensive though. the train was better than Paris RER, and the buses were also much better and so was the transport from Nykoping airport to stockholm. much much better than Paris Beauvais transport.
the apartments for students is good, and well furnished. The neighborhood was nice,the people were great,nice and friendly, typical for small neighborhood kind of society, the city is surrounded by mountains,lakes, and trees, and of course snowy picturesque view... I just loved it, I need it to refresh my mind, which I wasn't able to do in the blurred and crowded city so called Paris.
the food was great, for me, as long as I could find a nice, relatively cheap, tasty and cozy, Chinese and Indian restaurant nearby, that should be good enough.
in Uppsala, we will able to find not only the oldest university in scandinavian country, but also large taxes,it was the largest in OECD countries, up to 2007, but becoming the second after denmark this year I think. However they had a very low inflation rate, only around 1 percent rate annualy. corruption is low, property right is protected, people should be able to do new businesses in only 15 days, approximately two weeks, I think this rather impossible in French style of bureaucracy. similarly to france, however they had problem with unemployment as well, since the policies in hiring people seems to be burdensome.
they had some unemployment fringe benefit for the unemployed, but wait,they had additional shortcomings ; "you wasn't able to work, so we gave you money to survive for couple of weeks", so here it is, first, at the very least, the unemployed is obliged to apply for work, at least 16 application every month, second, no matter how clever you are, if we find you a job first,and you wasn't able to find yours, you should take the job, so it would be normal for an graduate anthropologist to work in a supermarket. Those are the shortcomings, the allocation of talents were not efficient, but the Scandinavian way, normally worked it out, why? information is the answer, people might some time work in poor condition, but as time goes by, they may find a suitable job.
what makes this work very well in scandinavian countries, is that they have less population problem than latin america nor west europe, they had such a great culture that corruption is bad, property right is respected, financial market have lots of varieties, business is good, people are smart, informations are free.
they won't be able to export corn and seeds, but they export human technology, like hand phones, IT's and Volvo's..just being here, I am able to find a little piece of puzzle why people really think scandinavian model is great, what my friend always make a great fuss about.
it'a a small piece of puzzle, but I'll find the rest of puzzle sooner or later..
just to prove that what might be look nice in other countries, won't always be as juicy as if we implement it in our country,at least it wasn't as easy as it look.
one thing I hate in scandinavia, is the prices of fresh food. what's wrong with all the people here, I went to the supermarket to get some fresh chilies, and it costs me 13 crowns for three pieces of chilies, in Paris the same amount of money gives me a whole pack of fresh red chilies, around 30 pieces. siiighhh..
6:48 PM | Labels: economic development, travel | 3 Comments
Aceh dan Mimpi Saya
Saya ngeliat hikmah dari Aceh,dalam artian itu peluang besar,
suatu daerah terbuka yang bisa kita bangun lagi dari awal, jauh dari kebobrokan jakarta dan sekitarnya (I do hope so).Aceh dari pandangan saya yang sempit, adalah region yang paling besar perannya buat indonesia di masa datang. Populasi tidak terlalu didominasi populasi tidak produktif,artinya orang muda yang produktif lebih banyak dari orang tua, infrastruktur dan tata kota juga bisa dimulai dari awal.
mengapa berbeda? begini maksud saya; Industrialisasi di Indonesia seperti cerminan di Tanggerang dan basis "industri" lainnya selama beberapa dekade adalah industrialisasi yang semu, industrialisasi dihuni para pedagang, dan dealer (macam bapak JK) yang mengekstraksi harta bumi dengan barang modal kualitas tinggi, untuk kemudian menjualnya, ekspor non-migas kita memang sekarang berkembang, tapi isinya hanya sekitar plywood,barang barang turunan hasil bumi, apparel olahraga, dan barang barang jenis assembling lainnya. Masalahnya bagi saya ekspor tradisional ini sangat rentan dengan tekanan eksternal seperti harga minyak dan pergerakan kurs,ini karena barang barang modal nya sendiri sebagai input, kita impor dari luar negeri. Tahun 60-70an industri kita di indonesia selevel dengan korea selatan, sampai sekarang kita tak jauh jauh bahkan mulai dikejar oleh vietnam, artinya sudah ketinggalan 30an tahun dari korea selatan. Sekarang seharusnya sudah bukan era-nya jualan beras atau permen buat Indonesia, perlu ada lompatan besar di bidang industri untuk bisa mengejar negara lain.
dari sisi supply**, saya yakin kita gak pernah kekurangan, berapa ribu anak mahasiswa lulusan ITB,ITS,UNDIP,UI dll yang punya kapabilitas di bidang industri. Di bidang IT misalnya,ada seorang teman dari Burgogne bercerita kemampuan IT orang perancis sebenarnya masih standar, masih di bawah para pekerja IT indonesia. Contoh lain misalnya barang modal untuk perkakas dan pembangunan, semua barang modal untuk bangun infrastruktur di Aceh kebanyakan diimpor dari negara negara donor (kayaknya sih) Perancis, Jepang, Malaysia, dll. Saya kok gak pernah ketemu ya perusahaan besar indonesia yang mengembangkan alat alat berat setelah Texmaco. Coba bayangkan satu propinsi dibangun! berapa banyak alat berat yang dibutuhkan? dan itu smua potensi ekonomi ini bocor ke negara donor, sebagian kecil saja dinikmati oleh calo calo dari jakarta. Contoh lain barang perkakas dapur, saya pernah search di google perusahaan Indonesia yang membuat kompor listrik, keluarnya electrolux di suatu toko di glodok, padahal apa susahnya bikin kompor? (sotoy yah)
menurut saya yang suka sotoy ini masalahnya di sisi demandnya, supply** seharusnya bisa diotak atik lah, demand nya yang kurang, karena inheren sama banyak hal.
Ambil contoh kompor, mana ada investasi buat pengembangan kompor listrik dan turunannya kalau smua keluarga di indonesia masih pakai minyak tanah dan gas? di era industrialisasi sekarang ini selayaknya minyak dan gas digunakan untuk industri ,sepadan dengan harganya yang akan terus naik sampai kiamat, maka mesti industri yang menggunakan,wong cuma mereka yang bisa flexibel merubah harga barang sesuai cost produksi, sedangkan manusia sekuat apapun asosiasi buruhnya gak akan bisa naekin gaji tiap harga minyak dunia naik ,ya kan?. Makanya pengeluaran mereka juga mestinya tidak terlalu fluktuatif. Listrik dalam hal ini bisa juga menjadi fluktuatif tapi rasa rasanya tidak se-fluktuatif minyak karena hanya produk turunan dari minyak tambahan lagi listrik itu economies of scale industry, makin banyak yang pakai, makin rendah costnya beda dengan minyak yang harganya tetap karena kita impor.(tapi gak tau juga deh ga mau sok tau). Kembali ke kompor, kalo keluarga indonesia bersedia merubah gaya nya dari kompor minyak tanah dan gas ke listrik, demand kompor akan tinggi, sangat tinggi, gak usah lah kita ekspor dulu, menuhin permintaan dalam negeri pasti sudah belepotan.
Dari sini berkembang lah ilmu pengetahuan, teknologi, cluster cluster baru industry yang berakar kuat dan berkesinambungan di tanah negeri, bukan industry yang berkembang karena "orderan" assembling dari orang singapur atau malaysia. cluster cluster ini menjelma menjadi network, network anak anak pintar negeri yang menghasilkan ide ide segar, barang barang baru, yang sepertinya sekarang sangat jarang kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali.
Supply dari tenaga tenaga ahli muda ini sudah dimulai dengan proyek habibie, dengan IPTN dan lainnya, blue print riset dan teknologi kabinet sekarang juga sudah mengarah kesana,tambahan lagi bakal ada ribuan beasiswa untuk menjadi pintar dari dikti, Suatu saat ketika para cendikia ini selesai studi mereka akan mendapatkan tempat yang nyaman di pusat pusat penelitian teknologi yang bernilai jual, Saya berkhayal Aceh di masa datang kaya dengan infrastruktur dan tenaga ahli di bidang nya,menjadi semacam silicon valley di amerika serikat.
kenapa aceh? karena tempatnya yang sangat strategis, di ujung negara, dekat selat malaka,jika dibangun pelabuhan internasional (memungkinkan gak sih?)yang bebas dari pungli dan sarana jalan yang baik, kita bisa buat zona ekspor yang dekat dengan sumber industri dengan sangat mudah dengan akses yang baik ke selat malaka, baik melalui pelabuhan di aceh, maupun di medan, saya yakin bakal jauh lebih memiliki nilai jual daripada di cakung Jakarta utara.
Kedepan mungkin kita akan bisa mengekspor produk2 industri kualitas tinggi,bukan mengekspor beras dan jagung, sudah saatnya anak anak petani menjadi programer2 IT tangguh, anak anak buruh menjadi arsitek arsitek besar menjadi tulang punggung industri industri besar di Indonesia. dan biarkan para ilmuwan pertanian memikirkan bibit unggul buat makan, bukan buat di ekspor.
kuncinya menurut saya adalah kemauan untuk berubah seluruh rakyat, paradigma lama mesti didobrak, sudah terlalu lama bangsa ini lelap dalam tidurnya,membakar BBM bertahun tahun, membuang buang uang APBN untuk subsidi padahal infrastruktur pendidikan,kesehatan, dan industri tidak membaik, di papua sana masih ada orang pake kapak batu untuk mencari sagu,malah kita bangga dan sekarang menjadi obyek industri parawisata (siighh...)
tugas pemerintah di Aceh bukan hanya merelokasi penduduk atau mempetak-petakan kota, tapi membuatnya menjadi kekuatan baru di Indonesia
ps : ** untuk mengurangi salah pengertian, ini sisi supply buat pengembangan industri di aceh,-mimpi saya-, tidak merepresentasikan masalah supply di indonesia secara keseluruhan, artinya conditional terhadap masalah logistik dan pungli
9:38 AM | Labels: economic development | 4 Comments
Pembelaan Buat Negeri
Di liputan enam hari ini ada sekumpulan mahasiswa berdemo mengutuk kelambanan pemerintah menangani kenaikan harga.Tradisi reaktif seperti ini sepertinya telah menjadi trend sejak lama di kalangan mahasiswa, dan masyarakat kita.
(1)pertanyaan pertama buat mereka, harga yang mana? inflasi kah maksudnya? jika memang bgitu jawabannya menjadi sulit, suatu dilema karena instrumen pemerintah terbatas, suku bunga tak mungkin dinaikan lagi,bisa bisa jadi krisis yang menghantam, mengingat pasar uang dunia sedang memanas,pengetatan kredit dimana mana karena lembaga keuangan dunia merugi dikarenakan krisis mortgage di Amerika serikat. Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi terbatas ruang geraknya, karena sektor riil dan sustainability hutang di masa datang taruhannya.
(2)Masyarakat yang mana yang dimaksud? smua orang bicara kemiskinan, rakyat sengsara, semuanya hanya idiom yang mereka dengar di media. Mahasiswa bagai kerbau dicocok hidungnya, mengekor tanpa mengerti masalah. ketika seorang pakar berbicara dengan titel PhD nya, mahasiswa politis ini merasa terpanggil untuk membela ide ide tuannya, tanpa ada proses menerima dan mempertimbangkan.
(3)Kenaikan harga barang barang itu karena apa? Kenaikan harga harga sebagian besar dihasilkan dari harga pasar yang tinggi, karena kepanikan para pengelola modal dunia.
Banyak orang tidak mengerti,di abad ini harga beras, pangan dan minyak tidak hanya ditentukan oleh biaya produksi, ada faktor spekulasi dari pemegang modal,pemegang hak jual dari komoditas2 dunia. Kepanikan kenaikan harga minyak dunia, dan berkembangnya bio-fuel sebagai "emas hitam baru" membuat banyak pemilik modal beramai ramai membeli hak future option membeli komoditas pangan,untuk mengantisipasi harga yang lebih tinggi di masa datang, yang ironisnya berujung pada meningkatnya harga2 komoditas. Proses self fulfilling mechanism ini murni exogenous dari peran pemerintah, penjelasan kenaikan harga pangan lebih lanjut dibahas disini, yang menegaskan faktor eksternal adalah faktor penting penentu harga harga pangan yang meroket. Jalan pintas yang paling mungkin dipilih adalah subsidi, yang resikonya antara lain kemampuan fiskal pemerintah menurun drastis dan more inflation from demand pull inflation. Sebaik apapun skema subsidi langsung, leakage pasti saja ada. Intinya inflasi adalah suatu fenomena tidak aneh, bahkan kemampuan negara kita mempertahankan inflasi tidak bergejolak hebat adalah prestasi yang baik.
Data resmi menunjukan kemiskinan menunjukan trend yang membaik dari tahun ke tahun seiring dengan momentum pertumbuhan ekonomi yang membaik,tapi well-being masyarakat yang rendah, dan masalah eksternal yang buruk,menghambat proses ini. Orang orang pesimis atau tidak mengerti malah cenderung untuk menyalahkan dan mempolitisasi output data bps,mereka tidak mengerti bahwa poor in income term tidak selalu berkorelasi dengan poor in non income term, mereka tidak mengerti bahwa masalahnya terletak di pengembangan infrastruktur dan public policy dalam penyediaan barang publik, ironisnya mereka tidak juga mengerti bahwa ketika uang negara dibakar setiap hari di jalan jalan besar untuk orang orang kaya,di dusun papua sana masih ada saudara kita dengan teknologi zaman batu berkubang dalam kehidupan, di gunung merapi dekat bukit tinggi, banyak petani membakar panennya karena tidak ada fasilitas gudang yang memadai untuk sekedar menunggu harga gabah membaik. Banyak media menyorot susahnya hidup kaum pemulung di jakarta,tapi sedikit yang tahu, bahwa penghasilan "si hina" pemulung kadang bisa sampai tiga kali lipat gaji guru "sang pahwlawan tanpa tanda jasa" honorer di tanggerang. Definisi orang miskin dan sengsara di negara kita telah didikte oleh media, bahkan penyebab pemiskinan ini juga telah didikte oleh para opportunis politik dan masyarakat menelannya bulat bulat.
Sedih melihat perkembangan negara kita seolah dianggap angin lalu, oleh komentar komentar pengamat (politik) ekonomi dadakan, dan para anggota dewan yang tidak siap oleh data ketika ditanya wartawan dari media kelas tabloid.Masyarakat kita tidak mengerti bahwa dengan sekian banyak bencana alam, bencana kemanusiaan, perseteruan politik, kemunduran intelektual dan inovasi teknologi, negara kita masih bertahan, dan berkembang walaupun tertatih tatih.
Banyak perubahan telah dilakukan, subsidi energi dikurangi, dan dialihkan pada pembangunan infrastruktur, ini penting karena faktor non income masyarakat tidak menjadi prioritas selama satu dekade ini. Perampasan harta bawah laut indonesia oleh nelayan asing yang high tech,membuat proses pemiskinan nelayan semakin kompleks, kurangnya dana untuk membangun keamanan laut yang kuat kini sdikit demi sedikit ditambal,lemahnya teknologi masyarakat nelayan (seharusnya) mulai menjadi sorotan, penggunaan teknologi baru untuk memanfaatkan sumber sumber energi baru bermunculan. fokus dari departemen departemen di pemerintahan mulai membaik, birokrasi sedikit demi sedikit dikurangi di berbagai departemen, terutama departemen luar negeri.
Mari saudaraku bangun optimisme negeri, selama setiap politisi dan pengamat bicara pesimis atas negeri,terutama demi simpati anak negeri di pemilu 2009, selama media mempublikasi ini dengan tidak proporsional,dan selama rakyat menelannya bulat bulat pesimisme ini. Tidak akan bangkit negeri ini dari kesusahan
1:39 AM | Labels: economic development | 6 Comments
How do we run business here
karena kantornya persis depan apartemen gua, kita suka pulang bareng, disini lah sering ngobrol.Menarik sekali dari dia gua bisa belajar hal hal remeh yang mungkin gak bisa dibaca di buku, atau di internet. Hal yang cuma bisa diceritakan,yang cuma berasal dari pengalaman.
Awalnya smua berasal dari curhat,masalah di kantor,karena sebagian besar kantornya tampaknya bakal pindah ke India dan China. Dari situ mulai ngobrol outsourcing,nilai tukar,international trade, efek euro dan dollar,Diskriminasi sosial, sosiologi perkotaan dan lain lain.
tapi yang gua paling suka belajar dari dia,tentang kenyataan yang ada di Perancis, yang gak pernah kepikiran ama gua. contoh di paris ini, biaya anak sekolah kita gak bayar ke sekolah, tapi ke mairie seperti kecamatan, tapi kadang kadang juga setingkat walikota. Mairie ini yang akan membayar ke sekolah sekolah sesuai dengan unit costnya. Mairie ini sangat sangat independen, bahkan hari ini sedang ada kampanye pemilihan di daerah 15 arrondissement, tempat apartemen gua berada.I'll get back to this later.
Biaya anak sekolah, dalam hal ini di tingkat universitas, sangat beragam, tergantung dengan tingkat pendapatan orang tuanya. Kawan gua, sama sama penerima beasiswa, anak semata wayangnya di ecole primaire (semacam SD) gak bayar sama sekali, alias gratis, karena tingkat pendapatan penerima beasiswa-boursier- dibawah tingkat makmur perancis
lain halnya dengan tingkat skolah di atas universitas. ini tingkat biaya sekolah beragam, walau tetap bisa dibilang sangat rendah. Mahasiswa dengan tingkat pendapatan rendah tidak membayar pajak,akan tetapi mendapat banyak tunjangan dari pemerintah, lain halnya mahasiswa dengan orang yang berpendapatan tinggi terutama tingkat PhD, mereka harus membayar pajak yang tinggi, sekitar 20 persen gaji setahun.
Konsep ini berlanjut sampai tingkat terkecil, seperti misalnya harga makanan kantin sekolah, juga diatur seperti itu (walaupun ini lebih bersifat pungutan tidak resmi), anak yang berasal dari keluarga tidak mampu akan membayar lebih sedikit dibanding yang kaya, untuk barang yang sama.Caranya? mereka akan kasih kupon pembelian setiap membeli, dan tiap bulan orang tua akan di kenai biaya unit dikali dengan harga yang telah disubsidi.Untuk level universitas juga begitu, ada yang namanya CROUS, yang menyediakan makanan murah tapi sehat+ kenyang, dengan 2.75 euro kita bisa makan enak di cafetaria nya bagi level pelajar, sedangkan buat level pekerja, mereka akan dikenai biaya yang dobel. Ini terus terang, bagi gua menarik,terutama karena ini sudah dimulai dari sejak mereka sekolah taman kanak kanak.
Sebagai orang yang mengaku belajar ekonomi, insting gue langsung bilang, wah itu resiko menghasilkan free-rider, bisa saja anak orang kaya bilang ke anak miskin, "lo beliin gua itu dong, ntar gua bayar ke elo", well bisa saja, tapi sepertinya itu gak kejadian, kenapa? karena anak orang miskin juga pinter, dia tau, opportunity cost untuk jadi antek antek orang kaya ini,dia bakal lebih worst off. Dan lagi lagi yang paling penting adalah ini dimulai dari usia sejak dini yang dipahami oleh anak anak. Bahwa rent-seeking temptation sudah dikenalkan sejak dini, tapi tidak melembaga sedemikian rupa, menurut gua yang sangat menarik.
fakta lain yang menarik adalah, dorongan entrepreneurship sangat tinggi disini, orang bisa datang ke kadin paris (chambre de commerece de paris) untuk dapat informasi tentang pekerjaan yang bisa dilakukan, sekaligus info untuk mendapatkan pendanaan, dana sangat melimpah(terutama bagi penduduk asli)Bank seperti berlomba memberikan pendanaan.Hal yang sama juga di informasi tenaga kerja,jarak beberapa rumah dari tempat gua ada semacam pusat informasi pekerjaan,belum pernah masuk sih, tapi ruangnya di desain transparan,dinding nya cuma kaca besar,jadi kita bisa liat apa di dalamnya tanpa masuk. Satu ruangan besar isinya penuh dengan komputer, kita hanya tinggal log on, cari tawaran kerja, dan lowongan yang kira kira bakal ada.
hmm lowongan yang bakal ada? maksudnya? nah ini juga yang menarik. Ini semacam kombinasi social security yang baik dan departemen tenaga kerjanya. Karena Social security yang sangat baik, setiap individu dari kecil sampe tua terjamin oleh asuransi dan dana pensiun, dari mulai asuransi jiwa, sampai asuransi kesehatan, artinya ada consumption smoothing yang sangat baik. as a result,orang yang sudah masuk ke usia lanjut,gak perlu bekerja, hidup mereka sudah terjamin dengan tabungan dan investasi, tambah lagi setiap masalah yang tak terduga ditutup oleh asuransi.
jadi setiap kali para pengusaha ini pensiun, mereka yang tidak memiliki penerus akan bilang ke mairie atau chambre de commerce. "Nih usaha gua, gua mo nikmatin idup, tolong terusin,atau jualin aja ama yang mau",dengan adanya sistem ini lowongan kerja dalam skala tertentu menjadi predictable, di tahun 2008 misalnya,tiap tiap camat disini tahu, ah, kita bakal punya 5 tukang roti yang pensiun, 10 tukang daging, dan 10 pialang saham,so,mereka bisa tawarkan ini pada orang yang gak punya pekerjaan.
kekurangannya sih,sistem ini gak applicable buat orang yang berpendapatan tetap, untuk mendapatkan fasilitas informasi ini, orang tersebut tidak boleh bekerja, atau recently being laid off,jadi orang yang bekerja tapi ingin investasi lagi, mesti gunakan "sistem convensional".
Memang pajak pendapatan sangat tinggi, akibatnya pengangguran relatif tinggi sekali di perancis di banding negara eropa lain yang lebih terbuka,level pengangguran terjaga lebih karena kesepakatan pengusaha dengan asosiasi pekerja yang aktif sekali. terutama paris.
yang lebih menarik adalah tingkat inflasi yang rendah dibanding negara asia, tapi relatif tinggi buat negara eropa secara rata rata,yang by the way cenderung meningkat terus. I'll comeback to this later.
Sistem eropa barat memang sedikit sosialis,tapi tidak kebablasan seperti negara negara eropa timur. Gue melihat penting banget negara kita ngadopsi sistem ini, gua melihat diri gua sebagai orang yang liberal,tapi konsep perancis ini, terus terang, I find it very interesting. Konsep BOS misalnya,selama ini selalu diselewengkan, karena orang tua murid, berinteraksi langsung dengan administrasi sekolah, walau duitnya turun, masih saja ada benefit untuk curang. Lain halnya jika administrasi berinteraksi dengan Camat, atau walikota, dia tidak punya bargaining power buat ngontrol walikota, tapi justru sebaliknya. Sedangkan walikota juga "terpaksa"
mengawasi kepala sekolah, karena terpilih tidaknya dia di tahun mendatang, adalah tergantung kepada ada nya dukungan orang tua orang tua murid itu.
banyak sekali sih yang bisa diaplikasiin di indonesia, sayangnya lagi lagi kita punya masalah di diseminasi informasi dan transparansi, di norway bahkan katanya kita bisa tahu berapa jumlah pendapatan orang di sebelah kita, hanya dengan search engine di internet,asalkan kita tau nama lengkap dan pekerjaaanya. itu yang gua sebut diseminasi informasi, transparansi. data data dan data yang akurat.. smua cita cita ini gak akah bisa terwujud secara tiba tiba, tapi perlu Hukum dan institusi yang mengawal masyarakat ber transformasi dalam aktivitas bermasyarakat menuju ke tingkat masyarakat yang lebih baik.
ps : ini ada satu contoh dari norway cara mengatasi prostitusi
ps : blog post updated karena ada kritik membangun dari mas Rio Hasan
5:13 PM | Labels: economic development | 10 Comments